Gonjang-ganjing ini bermula saat pemohon yang terdiri atas Toyota Soluna Community, dalam hal ini diwakili oleh Sanjaya Adi Putra dan Naldi Zen; dan pengendara bernama Irfan meminta penjelasan Pasal 106 ayat (1) terhadap frasa "menggunakan telepon" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "dikecualikan untuk penggunaan aplikasi sistem navigasi yang berbasiskan satelit yang biasa disebut Global Positioning System (GPS) yang terdapat dalam telepon pintar (Smartphone)".
Namun, tuntutan itu ditolak oleh MK. GPS kini berperan begitu vital perannya dalam kehidupan, apalagi para pengemudi ojek online yang tiap hari bergelut dengan rumitnya jalanan kota. Beberapa profesi lain juga sangat penting, seperti kurir, teknisi, dan berbagai profesi yang tiap waktu harus mencari alamat pelanggan. GPS sangat membantu dengan mudah dan cepat tanpa harus tanya sana-sini.
Namun, para birokrat yang kaku dan kolot, tak mampu menangkap kebutuhan ini. Bahwa mengarahkan pandangan pada layar handphone dapat mengganggu konsentrasi adalah satu hal. Dan kebutuhan navigasi adalah hal lain. Keduanya harusnya didamaikan, bukan malah dipertentangkan.
Tahukah, bapak-bapak yang terhormat, bahwa ada fitur suara dalam google maps? Hal ini membuat pengguna tidak perlu melihat layar untuk tahu arah jalan. Pengemudi dapat fokus pada jalan sekaligus tahu ke mana ia harus mengarahkan kendaraannya. Jika penggunaan GPS dibatasi pada fitur ini saat kendaraan bergerak, seharusnya ini menjadi win-win solution.
Apalagi beberapa orang memang memiliki bawaan navigasi yang lemah. Saya adalah salah satu contohnya. Sinyal entorhinal cortex dalam otak sata lemah, sehingga tiap pergi ke mana pun, sekalipun sudah beberapa kali ke situ, sering lupa. Seharusnya aspek-aspek semacam ini dipertimbangkan agar hukum berkembang sesuai dengan tuntutan jaman.