Mohon tunggu...
Jekry Ariyanto Sopa
Jekry Ariyanto Sopa Mohon Tunggu... Wiraswasta - TERUS MENJADI

Terus Bermakna Bagi Sesama dan Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dari Kursi Mahkamah Konstitusi Menuju Demokrasi Berkeadilan

8 Februari 2019   10:01 Diperbarui: 27 Mei 2019   02:44 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ajang perhelatan pesta demokrasi pada tahun 2019 yang lazim disebut tahun politik sudah di depan mata, dengan besar harapan setiap masyarakat Indonesia yang memiliki hak pilih dapat secara selektif dan obyektif untuk menggunakan hak pilihnya guna mendapatkan wakil-wakil rakyat yang baik sebagai representasi dari kehendak rakyat untuk diperjuangkan. 

Hal ini sejalan dengan pendapat Abraham Lincon bahwa demokrasi yang ideal itu merupakan kekuasaan yang sepenuhnya dipegang oleh rakyat melalui wakil-wakil yang dipilih untuk memperjuangkan setiap kehendak kesejahteraan bagi masyarakat.

Akan tetapi suhu politik yang disajikan sejauh ini melalui pemberitaan media cetak maupun sosial media selalu menimbulkan polemik dalam penyelenggaraan pemilihan umum dengan berbagai bentuk pelanggaran pemilu, berupa politik uang, hoax, isu sara serta berbagai bentuk pelanggaran dan kejahatan lainnya yang justru mengancam komitmen dalam kehidupan bernegara yang harmonis. Praktek politik yang dipertotonkan saat ini sangat berpotensi memicu derasnya perselisihan hasil pemilihan umum yang tentunya akan bermuara pada peran Mahkamah Konstitusi sebagaimana tugas dan wewenangnya.  

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sejak adanya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di adopsi dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24c ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 terkait tugas dan wewenang dari Mahkamah Konstitusi diantaranya menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Melalui salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum, maka sebahagian kedaulatan rakyat ada di tangan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi untuk dapat menciptakan pesta demokrasi yang berkeadilan. 

Bukan pekerjaan yang mudah bagaimana menciptakan demokrasi yang berkeadilan bagi segenap anasir anak bangsa, sebab menjadi tuntutan mutlak bagi para hakim Mahkamah Konstitusi untuk bekerja secara independen dan professional, serta secara nyata merealisasikan nilai-nilai konstitusional yang berdasarkan Pancasila sebagai kristalisasi semangat hidup dalam menciptakan demokrasi yang berkeadilan. 

Seirama dengan pikiran dari Benyamin N. Cardoso (dalam, Norbetus Jegalus, 2011: 43) yang menyarankan agar dalam menjalankan setiap kewenangan dari para hakim perlu berusaha menemukan apa yang sungguh-sungguh merupakan nilai yang hidup serta kehendak kedaulatan dari masyarakat dalam menentukan wakil-wakilnya, maka hal itu hanya bisa dicapai melalui pengalaman dan penyelidikan serta renungan mendalam tentang kehidupan masyarakat Indonesia.

Tugas yang berat ini dapat dilihat dalam kurun waktu terakhir ini MK diperhadapkan pada sengketa hasil pemilihan umum pada tingkat pemilihan kepala daerah yang disodorkan ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2018 sebanyak 62 kasus permohonan sengketa Pilkada (Tempo,13 Juli 2018). 

Pada konstalasi politik saat perlu juga diingat kembali bahwa pada tahun 2014 dalam situasi ajang percaturan politik lima tahunan yang silam Mahkamah Konstitusi diperhadapkan dengan 767 sengketa pemilu legislatif yang disidangkan oleh Mahkamah Konstitusi (Kompas,16 Mei 2014) karena itu semakin banyak perkara perselisihan hasil pemilihan umum yang disodorkan ke Mahkamah Konstitusi maka semakin banyak pula harapan dari masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi sebagai unjung tombak terakhir dalam mengungkapkan kebenaran atas kehendak rakyat dalam memilih wakil-wakilnya.

Perhelatan demokrasi ditahun ini jika Mahkamah Konstitusi tidak bekerja secara professional maka akan mengkebiri kedaulatan rakyat melalui aktor-aktor politikus yang berpotensi menjadi wakil-wakil rakyat yang serakah. 

Karena itu, menjadi catatan kritis bagi lembaga negara yang berkewenangan dalam menentukan para calon dan anggota hakim Mahkamah Konstitusi agar lebih selektif dan obyektif dalam menjaring setiap figure anggota hakim Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut, beberapa penelitian menunjukan bahwa mekanisme pemilihan turut memengaruhi imparsialitas, integritas dan independensi para hakim terpilih (Akkas, 2004; Institute of Peace, 2009).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun