Dulu sekali waktu SMP mulai suka menulis, tapi belum meminati membaca, et tapi ada sebabnya, ya boro-boro suka baca, punya buku juga cuma LKS sama buku paket sekolah
Memasuki SMA kebetulan sekolah di kota dimana akses informasi dan buku mudah dijumpai. Dari SMA mulai suka membaca buku-buku. Perpustakaan Daerah adalah satu-satunya lokasi yang paling sering di kunjungi. Karena tidak bisa kebeli buku
Anak kos dengan segala drama-dramanya tidak memungkinkan untuk membeli buku, paling ke Gramedia Purwokerto cuma muter-muter habis itu pulang.
Karena itulah diantara anak kost waktu itu, akulah yang sering ngilang-ngilangan. Karena sering pergi-pergi. Maklum guys anak desa masuk kota. hehehe
Nah, di SMA inilah aku bertemu Guru Bahasa Indonesia yang kebetulan adalah kolomnis di koran-koran, juga sastrawan dan budayawan Banyumas. Jadilah makin terilhami untuk semangat menulis, membaca, bergabung dengan komunitas menulis suka observasi dan lain-lain.Â
Dari situ juga terbangun kesadaran akan pentingnya perpustakaan. Aku menyaksikan dan merasakan sendiri susahnya akses buku, harga buku yang mahal dll. Kalo beli 1 buku, bapakku harus kerja 2 hari cuma untuk membeli 1 buku.Â
Pernah membayangkan bila tiap Desa di Indonesia menyediakan perpustakaan yang lengkap duhai alangkah pintarnya anak-anak Indonesia (waktu itu Android dengan segala kecanggihan nya blm ada). Keinginan membuat perpustakaan mulai tumbuh, tapi cuma ingin doang.
Lulus SMA hijrah ke Jakarta, disinilah seolah melengkapi apa yang menjadi hasrat saat SMA dulu. Meskipun dengan gaji yang tak seberapa, tapi keinginan membeli buku memuncak. Jadinya tiap bulan 2 sampai 3 buku dan terkadang malah borong buku selalu menambah rak lemariku.
Sadar kalao keinginan mewujudkan perpustakaan setiap Desa tidak akan bisa aku wujudkan. Sebab aku bukanlah pemangku kebijakan. Maka dinding rumahku kusulap dengan buku-buku. ruang depan ruang tengah kamar, ada rak bukunya semua.
Aku ingin orang berdatangan kerumahku menikmati bacaan-bacaan yang ada di rak-rak dinding itu.