Pekan ini ini sebagian sekolah di Jakarta sedang melaksanakan UTS (Ujian Tengah Semester). Begitu juga di tempat saya bekerja. Kebetulan saya mendapat tugas untuk mengawasi jalannya UTS jam pertama.
Salah satu siswa tiba-tiba nyeletuk tentang demo yang dilakukan teman-temannya Rabu kemarin. Saya merasa banyak kekeliruan informasi yang mereka terima.
"Kertas ulangan tidak saya bagikan, mari kita diskusikan tentang demo kemarin," kataku.
Ternyata siswa-siswi itu antusias. Akhirnya UTS ditunda beberapa saat.
Saya tidak menjelaskan RUU yang dipermasalahkan, tapi meminta anak-anak menjelaskan hal-hal yang mereka terima tentang itu.Â
Betul dugaan saya, informasi yang mereka terima tidak utuh atau mis-informasi. Benar ada RUU yang bermasalah, tapi mereka tidak mengerti RUU apa yang bermasalah.Â
Saya mendengarkan pendapat-pendapat dari mereka. Setelah mereka menyampaikan apa yang mereka ketahui tentang demo kemarin, saya ajak mereka untuk membaca draf RUU dalam bentuk PDF sehingga mereka bisa membaca melalui smartphone yang mereka bawa, bukan dari cuplikan yang mereka terima dari media sosial.
"Pak, masa suami perkosa istri dipenjara 12 tahun," kata salah satu siswa.
Dalam hati, persis seperti yang aku lihat di video anak-anak STM yang berdemo mengira RUU mengatakan hal semacam itu. Itu sebagian percakapan dalam diskusi.
Akhirnya kita bareng-bareng buka draf RUU-nya. Saya berusaha netral senetral mungkin. Saya tidak memberikan argumen apa-apa, meminta mereka berpikir sendiri. Tapi saya juga paham mereka kebingunan. Saya mencoba memberikan stimulus supaya mereka mengerti maksud RUU itu.
Setelah mereka membaca beberapa RUU bermasalah, saya meminta mereka membandingkan seperti apa yang mereka terima di media social, lagi-lagi mereka terlihat bingung sendiri.