Di era yang serba instan dan di dukung dengan era medsos yang telah banyak mempengaruhi pola hidup masyarakat kita.Â
Segala hal menjadi tanpa sekat, semua orang menjadi bebas mengekspresikan segala yang mereka kehendaki.
Masalah menjadi pelik dan penuh resiko ketika sesuatu yang bukan ahlinya mulai ikut menyuarakan di mimbar-mimbar media sosial, tidak lain tidak bukan alhasil jamaah permedsosan di buat saling oceh.
Salah satu yang kursial adalah soal agama. Kita semua telah sepakat label Ulama, Ustadz, Kiyai, adalah sederet label untuk mereka yang memunyai keahlian dalam bidang keagaman (Islam).Â
Lalu apa jadinya kalau label semacam itu tersemat pada mereka yang tidak paham agama dan memberanikan diri berkubah melaluai mimbar-mimbar media sosial.
Jadilah hari ini yang kita lihat, pintar merangkai kata dan menyelipkan satu dua hadits membuat mereka tergiur menjadi Ustadz dadakan.Â
Masalahnya ini bukan tahu bulat di goreng dadakan rasanya enak. Tapi ini perkara yang menyangkut proses hidup seseorang sampai ke surga atau neraka.
Oleh karena itu patutlah kita sebagai flowers ulama harus tau Ustadz-ustadz yang benar-benar Ustad. dan Ustadz yang mendadak kaya tahu bulat.
Memilih ulama atau Ustadz dengan filosofi citarasa kopi begini.Â
Kopi yang sedap tidak ujug-ujug ada  atau instan bukan? Tapi melalui proses panjang, sama seperti Ulama mereka tidak ujug-ujug jadi ulama tapi melalui proses yang panjang.Â
Kopi yang nikmat dan sedap dipilih dari biji kopi terbaik dari jutaan butiran  biji kopi. Sama halnya dengan ulama lahir dari orang-orang terbaik sanad keilmuan yang baik orang-orang pilihan.Â