Bantai isitilah ini di dunia kepenulisan sangatlah umum digunakan. Â Kata ini biasanya di gunakan utk memberi komentar kritikan. Â Hampir setiap penulis pernah mengalami bagaimana rasanya tulisannya di bantai.
Kritikan bagi seorang penulis itu ibarat jamu, Â pahit tapi membuat sehat. Â Biasanya bagi para pemula, Â ketika pertama kali menulis dan tulisannya mendapat tanggapan kritikan akan mengalami syok.
Begitu juga aku,  ketika pertama kali menulis dan disodorkan ke guru bahasa Indonesia,  tulisanku mendapatkan kritikan, bukan hanya kritikan tetapi penuh dengan coretan.  Awalnya aku syok, sedih, merasa terzolimi.  Hampir tidak mau nulis lagi, tetapi aku sadar,  kritik itu sangat aku butuhkan apa lagi waktu itu karya itu mau di lombakan,  dan alhamdulillah  ternyata tulisan itu gugur di bapak penyisihan, makin sedihlah aku.
Tetapi bagaimanapun aku tetap perlu menilis, Â meski harus bolak-balik merasakan sakit hati.
Mungkin rasanya setingkat di bawah saat di putusin pacar. Begitulah ketika awal-awal menulis mendapatkan kritikan yang waktu itu aku anggap kejam.
Tapi nyatanya lambat laun justru aku terbiasa dengan pembantaian tulisan itu. Apa lagi ketika aku bergabung dengan komunitas menulis di Purbalingga, Â ternyata lebih kejam lagi, Â tapi gak kapok. Â kejamnya kritikan telah menyadarkanku bagimana aku harus terus mengasah kemampuan menulis dan belajar legowo kalau aku memang masih sangat pemula.
Belajar dari kejadian-kejadian itu,  hikmahnya sangat luar biasa.  Ketika teman-temanku down  ketika skripsi di bantai habis sama pembimbing dan curhat sedemikian rupa di media sosial.  Aku bersikap biasa saja, menikmati prosesnya meski harus kejar-kejaran dengan waktu. Â
Aku melihat beberapa temen-temanku yang panik, down, Â sedih, Â merasa terzolimi oleh dosen pembimbing mereka-mereka kebanyakan jarang menulis, Â atau bahkan skripsi itu adalah karya mereka pertama. Â Maka wajar ketika BAB 1 hampir 3 bulan tidak selesai, Â karena saat datang ke pembimbing sekali di bantai langsung syok dan enggan kembali lagi.
Pengalaman itu sengaja aku tulis di sini agar temen-teman semangat menulis dan siap mendapat kritikan bagaimanapun macamnya.
Selanjutnya, Â menulis membutuhkan ide-ide. Â Tidak mungkin akan mampu menulis tanpa mempunyai ide, Â maka para penulis adalah manusia-manusia berlian yang mampu menuangkan ide gagasan dalam bentuk tulisan.
Menulis berbeda dengan berbicara, Â bisa jadi ahli orator atau penceramah sangat lihai merangkai kata di depan khalayak, Â tetapi ketika berhadapan dengan kertas ia kebingungan.