Mohon tunggu...
Jeanne Noveline Tedja
Jeanne Noveline Tedja Mohon Tunggu... Konsultan - Founder & CEO Rumah Pemberdayaan

Jeanne Noveline Tedja atau akrab dipanggil Nane adalah seorang ibu yang sangat peduli dengan isu kesejahteraan anak dan perempuan, kesetaraan gender, keadilan sosial, toleransi dan keberagaman. Kunjungi website: https://jeannenovelinetedja.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Surat terbuka untuk Presiden RI, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono

15 Juli 2014   04:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:19 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bapak SBY yang saya muliakan,

Dengan segala kerendahan hati, perkenalkan, saya adalah salah seorang kader Partai Demokrat.  Tahun 2007 saya memutuskan bergabung dengan Partai Demokrat karena saat itu saya melihat Partai Demokrat sebagai sebuah partai yang memberikan harapan, partai yang lahir setelah reformasi. Saya yang sebelumnya apatis terhadap partai politik di era Orde Baru, memutuskan terjun ke politik praktis bersama Partai Demokrat. Sejak bergabung dengan Partai Demokrat, wawasan kebangsaan, semangat nasionalisme dan jiwa patriotisme saya muncul, apalagi setelah mengikuti PKKPD (Pelatihan Kepemimpinan Kader Partai Demokrat) selama dua minggu di Cibodas tahun 2008. Selain itu saya juga kagum dengan sosok Bapak SBY yang mengenalkan dan mempromosikan budaya politik yang bersih, cerdas dan santun.  Budaya politik itulah yang selalu Bapak dengung-dengungkan dalam kesempatan pidato Bapak didepan para kader Partai Demokrat.

Bapak SBY yang saya hormati,

Sejak tahun 2007 itulah saya selalu membela Partai Demokrat dalam segala kesempatan.  Saya juga selalu membela Bapak sebagai Presiden RI dan pendiri Partai Demokrat.  Ketika bertemu konstituen dalam rangka keikutsertaan saya pada Pemilu Legislatif 2009, saya sebagai salah satu calon legislatif dari Partai Demokrat juga aktif mensosialisasikan kebijakan-kebijakan Bapak selama memimpin Negara tercinta ini.  Program-program pro-rakyat seperti BLT, KUR, PNPM sampai saya hafalkan betul-betul, sebagai bekal saya ketika sosialisi bertemu masyarakat.  Menurut saya kebijakan pro-rakyat dengan tiga pilar strategi pembangunan sosial-ekonomi yang Bapak canangkan pada tahun 2005 yaitu pro-poor, pro-growth, pro-job dan ditambah pro-environment pada tahun 2007, adalah benar-benar kebijakan yang cerdas dan sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia pada saat itu, bahkan sampai saat ini dan yang akan datang.  Ketika banyak masyarakat megkritik gaya kepemimpinan Bapak yang terkesan kurang tegas dan lamban dalam mengambil keputusan, saya selalu mengatakan pada masyarakat, “Pemimpin yang bijaksana haruslah seperti itu, tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, karena keputusannya akan berdampak bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Ketika badai melanda Partai Demokrat karena ulah beberapa kader yang menjadi tersangka korupsi, saya selalu mengatakan, “Partai Demokrat akan tetap berdiri tegak, dan budaya politik yang bersih, cerdas dan santun itu akan selalu ditanamkan oleh Ketua Umum kami Bapak SBY.  Jangan karena ulah beberapa kader lantas masyarakat men-generalisir semua kader Partai Demokrat seperti itu.  Masih banyak kader yang bersih dari politik transaksional”. Bahkan, ketika banyak kalangan menilai Konvensi Capres yang dilakukan oleh Partai Demokrat sebagai sebuah usaha yang sia-sia, saya mengatakan sebaliknya, “Konvensi Capres Partai Demokrat adalah sebuah edukasi politik dan patut mendapatkan apresiasi. Konvensi Capres yang dilakukan Partai Demokrat adalah cara bagaimana Bapak SBY memberikan contoh berpolitik yang bersih, cerdas dan santun, dan bagaimana seharusnya proses perekrutan calon pemimpin negara dilakukan”.  Saya bangga sekali dengan Konvensi Capres tersebut.  Walaupun Partai Demokrat tidak bisa mengusung Calon Presiden karena terkendala perolehan suara pada Pemilu 2014, saya tetap berkeyakinan Konvensi tersebut tidaklah sia-sia, dan bahwa Partai Demokrat kini punya banyak ‘persediaan’ pemimpin yang kompeten di masa yang akan datang, hasil dari Konvensi Capres tersebut.

Bapak SBY yang saya banggakan,

Saya bangga ketika saat partai-partai politik lain kasak-kusuk sibuk mencari koalisi menjelang pendaftaran Calon Presiden 2014-2019, Partai Demokrat tetap tenang dan tidak terpengaruh.  Saya juga sangat bangga ketika Bapak, dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) tanggal 17 Mei 2014, memutuskan bahwa Partai Demokrat netral, tidak mendukung calon presiden manapun, namun tetap harus berpartisipasi pada Pilpres 9 Juli, yang berarti tidak boleh golput.  Saya, sebagai kader Partai Demokrat, mengikuti saran Bapak tersebut. Saya mulai mencermati kedua capres yang berlaga, supaya saya bisa memutuskan capres mana yang akan saya coblos di bilik suara pada tanggal 9 Juli nantinya.  Mulailah saya melakukan berbagai kajian, mulai dari kajian internet membaca berita-berita yang di share oleh teman-teman di media sosial,membaca Koran dan majalah yang menulis tentang rekam jejak kedua capres, sampai dengan membaca buku biografi.  Sampai pada akhirnya saya menonton debat capres yang pertama, dan debat-debat capres dan cawapres berikutnya. Debat capres tersebut diadakan bukanlah untuk menilai siapa yang lebih pintar menjawab atau siapa yang lebih tinggi IQ nya. Debat capres bukanlah Ujian Nasional. Namun, dari debat capres masyarakat bisa menilai jawaban spontan yang keluar dari mulut kedua capres.  Jawaban spontan, yang tidak lain adalah jawaban yang keluar dari hati, bukan hanya dari pikiran. Boleh saya katakan bahwa saya akhirnya menjatuhkan pilihan saya pada Capres no.2, Jokowi-JK setelah selesai menonton debat capres pertama yang digelar pada 9 Juni 2014.  Saya jatuh hati ketika Jokowi menjawab pertanyaan moderator mengenai makna demokrasi dengan jawaban: “Demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya”.  Kedengarannya simple dan klise, tapi sangat sedikit saat ini pemimpin yang blusukan, mendengarkan suara rakyat langsung dan melaksanakan aspirasi rakyat tersebut, seperti yang sudah beliau jalankan semenjak menjadi Walikota Solo. Saya juga setuju dengan jawaban Jokowi ketika ditanya mengenai bagaimana memberantas korupsi, yaitu dengan “Membangun sistem e-government, dengan juga mengadakan e-catalogue, e-procurement, e-recruitment dan sistem lainnya yang berbasis tehnologi informasi”; dan saya terkesima dengan jawaban JK “bahwa pemimpin harus memberikan tauladan dan contoh yang baik” termasuk memberikan tauladan untuk tidak melakukan korupsi.  Jawaban itu sangat mengena, karena masyarakat sudah lelah dengan pemimpin atau pejabat yang merasa ‘tinggi’ tidak merakyat, apalagi mendengarkan suara rakyat; lelah dengan pemimpin atau pejabat yang korup dan tidak memberi tauladan yang baik; dan masyarakat juga lelah dengan banyaknya ‘celah’ di sistem birokrasi kita sehingga penyimpangan bisa terjadi. Oleh karenanya, rencana Jokowi untuk membangun sistem e-government adalah sangat tepat untuk meminimalisir penyimpangan yang mengarah pada korupsi, dan sistem ini sudah berjalan di DKI Jakarta dan beberapa daerah lain di Indonesia. Silahkan Bapak bandingkan dengan jawaban Prabowo yang mengatakan akan menutup kebocoran Negara, salah satunya dengan cara meningkatkan kualitas hidup pejabat. Saya kira, di Indonesia ini, yang kualitas hidupnya harus diperbaiki adalah masyarakat miskin, bukan pejabat. Selain itu, kalau boleh mengambil contoh, saya yakin Ketua Mahkamah Konstitusi pasti sudah memiliki gaji yang sangat tinggi dan kualitas hidup yang sangat baik, tapi toh, tetap saja korupsi dan menyebabkan ‘kebocoran’ dan kini meringkuk di penjara.  Ini hanyalah salah satu contoh jawaban spontan Prabowo yang tidak ‘mengena’ dihati saya dan mungkin juga dihati Bapak. Karena untuk memberantas korupsi, sistemlah yang harus diperbaiki dan integritas moral pejabatlah yang harus ditingkatkan. Pada debat capres pertama itu saya menilai jawaban Jokowi lebih kontekstual dan itu menandakan dia memahami kondisi bangsa dan persoalan yang tengah dihadapi bangsa kita, dan juga memahami kebutuhan rakyat.  Dan saya yakin Bapak SBY setuju dengan saya.

Pada debat capres kedua yang berlangsung pada 15 Juni 2014, Jokowi adalah capres yang berbicara mengenai pembangunan manusia; bahwa asset terbesar sebuah Negara adalah manusianya, sehingga beliau menganggap Revolusi Mental perlu dilakukan, salah satunya dengan cara menambah porsi kurikulum pendidikan wawasan kebangsaan dan pendidikan akhlak lebih besar pada kurikulum pendidikan, dari mulai tingkat SD sampai SMA.  Jokowi juga bicara mengenai pemberdayaan masyarakat, dimana beliau mempromosikan ‘ekonomi berdikari’ yang tak lain adalah tujuan dari pemberdayaan masyarakat, yaitu agar masyarakat mandiri - bisa berdiri diatas kaki sendiri.  Karena sesungguhnya hakekat dari pemberdayaan masyarakat adalah ‘to help people help themselves’.  Saya sangat setuju, karena kebijakan ini juga nyatanya sejalan dengan kebijakan pemberdayaan masyarakat / program pro-rakyat yang dijalankan Bapak SBY seperti KUR dan PNPM misalnya.  Saya yakin Pak SBY setuju dengan saya.

Bapak SBY yang saya cintai,

Maaf kalau pada akhirnya saya kecewa ketika pada tanggal 30 Juni 2014, Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarief Hasan - sesuai instruksi Bapak SBY sebagai Ketua Umum - menyatakan bahwa Partai Demokrat mendukung pasangan capres-cawapres Prabowo – Hatta.  Saya termenung lama dan menduga-duga. Apakah dukungan ini karena ‘sakit hati’ atas sikap Ibu Megawati selama ini kepada Bapak SBY, ataukah karena Hatta Rajasa adalah besan Bapak, atau karena PDIP selama ini adalah partai oposisi? Maaf juga, bila saya telah menjatuhkan pilihan saya pada pasangan Capres No.2, jauh sebelum Bapak memberikan instruksi untuk mendukung Capres No.1.  Pilihan saya ini adalah bulat suara hati dan telah saya pikirkan matang-matang, bukan karena ikut-ikutan kader Partai Demokrat lainnya yang juga mendukung Jokowi-JK.

Saya juga kecewa ketika kampanye hitam yang berbau SARA ditujukan pada Jokowi, Bapak sebagai Presiden RI terkesan ‘mendiamkan’. Saya juga kecewa ketika polisi terkesan ‘lamban’ dalam menindaklanjuti kasus tabloid ‘Obor Rakyat’ yang sudah terbukti melakukan kampanye hitam terhadap Capres No.2. Saya berharap Bapak SBY mengambil peran dengan merangkul semua kalangan masyarakat dan mengatakan bahwa semboyan Negara kita adalah Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya bahwa Negara Republik Indonesia ini bukan milik satu golongan, bukan milik satu agama, bukan milik suatu suku, bukan milik suatu golongan adat istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke (mengutip kata-kata Bung Karno); dan oleh karenanya, isu SARA seharusnya tidak boleh lagi dikemukakan, apalagi dipakai untuk menyerang lawan politik.  Sangat disayangkan, semangat keberagaman dan persatuan yang tertuang dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dan telah diperjuangkan kembali pada era reformasi, dinodai dengan praktek politik yang kotor dan keji dengan kampanye hitam yang berbau SARA, untuk memecah belah bangsa kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun