Mohon tunggu...
Jeanne Natasya
Jeanne Natasya Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Psikolog Klinis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konflik Rumah Tangga Selama Pandemi, Wajarkah?

30 Agustus 2020   20:12 Diperbarui: 30 Agustus 2020   20:16 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia selama kurang lebih 8 bulan di tahun 2020 ini menimbulkan berbagai macam persoalan. Tidak hanya memberikan dampak terhadap aspek kesehatan, pendidikan dan perekonomian, pandemi ini juga memberikan dampak terhadap meningkatnya angka perceraian dan konflik dalam rumah tangga.

Selama pandemi covid-19 ini, masyarakat diwajibkan untuk melakukan aktifitas dari rumah. Pemerintah Indonesia meminta masyarakat untuk bekerja, bersekolah dan juga beribadah dari rumah. Tidak hanya itu, jika masyarakat terpaksa harus keluar dari rumah untuk melakukan aktifitas tertentu, mereka diminta untuk menerapkan protokol kesehatan seperti melakukan social dan physical distancing serta selalu memakai masker dan rajin mencuci tangan.

Menurut beberapa sumber di media online, tingkat perceraian pasangan suami istri di Indonesia, khususnya Pulau Jawa cenderung meningkat selama pandemi covid-19, salah satunya ada di daerah Jakarta dan Bekasi. Menurut Pengadilan Agama Jakarta Pusat, sejak awal pandemi ini mewabah di Indonesia mulai dari Maret 2020, pihak Pengadilan sudah menerima 600 gugatan perceraian. Pada tahun 2020, pengadilan Agama Jakarta Pusat menangani 1.693 kasus perceraian dan per bulan, ada 140 kasus yang diproses. Selain itu ada beberapa faktor penyebab perceraian, hal ini meliputi perselisihan, pertengkaran, kekerasan dalam rumah tangga, masalah ekonomi dan faktor lainnya (Christian, 2020).

Menurut humas Pengadilan Agama Jakarta Selatan, pada bulan Juni 2020 sudah ada 360 perkara perceraian yang masuk (Poskota.co.id, 2020). Selain di Jakarta, kenaikan angka perceraian juga terjadi di beberapa daerah lain, salah satunya adalah Bekasi. Humas Pengadilan Agama Bekasi, Ummi Azma mengatakan, selama pandemi sejak Maret 2020, angka perceraian di Kota Bekasi meningkat signifikan. Setidaknya dalam kurun waktu 6 bulan ada 3.111 pasangan yang bercerai di wilayah tersebut. Angka perceraian tersebut terbilang melonjak tinggi. Pasalnya, dalam waktu satu tahun atau 12 bulan di tahun 2019, angka perceraian di Kota Bekasi terdapat 4.343 kasus (Rahmawati, 2020).

Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi mengakui dari catatan dilakukan pihaknya memang terjadi peningkatan ketegangan dalam rumah tangga selama Covid-19. Hal itu diketahui dari survei dilakukan Komnas Perempuan terkait perubahan dinamika rumah tangga selama pandemi Covid-19. Hasil survei dari 2.285 responden menunjukan satu dari tiga responden melaporkan bertambahnya pekerjaan rumah tangga yang membuat dirinya stres sekitar 10,3%. Lalu 235 responden melaporkan bahwa hubungan mereka dengan pasangan semakin tegang (Merdeka.com, 2020).

Pada dasarnya, konflik dalam rumah tangga memang sangat wajar terjadi. Suami dan istri merupakan individu yang berbeda, memiliki pemikiran dan pemahaman yang berbeda. Menurut Lasswell dan Laswell (dikutip oleh Lailatushifah, 2003), saat pasangan suami istri tidak mampu mengatasi konflik yang terjadi dalam kehidupan pernikahannya, perceraian menjadi pilihan sebagai solusi dari masalah yang tidak dapat dipecahkannya, agar penderitaan yang dirasakan oleh pasangan suami istri dapat terselesaikan. Menurut Myers & Myers (1992), Konflik adalah salah satu bagian alamiah dari adanya hubungan komunikasi, sehingga konflik memungkinkan ditemukan dalam setiap interaksi seseorang dengan orang lain. Berhasil atau tidaknya sebuah pernikahan sangat tergantung dari kemampuan pasangan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam kehidupan pernikahannya (Stinnett, Walters & Kaye, 1984).

Faktor yang dapat memicu konflik dalam rumah tangga selama pandemi covid-19

Saat menjalani praktik profesi psikologi selama masa pandemi ini, saya mendengarkan banyak klien bercerita mengenai konflik yang mereka hadapi dalam rumah tangga selama Work Form Home 6 bulan terakhir ini. Penyebab konfilk tersebut beraneka ragam namun yang paling dapat dilihat adalah masalah komunikasi yang tidak terjalin dengan baik antara pasangan suami istri, kondisi perekonomian, keberadaan anak dan pembagian peran antara suami istri.

  • Komunikasi diantara pasangan. Komunikasi yang baik dapat terjadi apabila pasangan mampu membicarakan berbagai macam topik, membentuk sikap saling pengertian, menunjukkan sensitifitas terhadap perasaan pasangan serta melengkapi komunikasi verbal dan non verbal yang tepat (Navran, dikutip oleh Atwater, 1983). Akan tetapi jika tidak terjalin komunikasi yang baik antara pasangan suami istri, maka akan mudah terjadinya suatu konflik.
  • Perekonomian dalam keluarga. Kesulitan dalam perekonomian keluarga dapat memberikan tekanan emosi yang sangat besar bagi pasangan dan meningkatkan kecenderungan terjadinya sebuah konflik. Pada masa pandemi covid-19 ini, dimana perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja ataupun pemotongan gaji, pasti akan mempengaruhi perekonomian keluarga yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik antara suami istri.
  • Keberadaan anak di rumah.  Seperti karyawan yang melakukan work from home, anak-anak juga bersekolah di rumah selama pandemi ini. Selain harus mengerjakan pekerjaan kantor, melakukan meeting secara online, orangtua dituntut untuk membantu dan mengawasi anak yang sedang belajar di rumah. Hal ini menyebabkan orangtua mengalami tekanan yang mengakibatkan terjadinya konflik antar pasangan maupun juga dengan anak.
  • Pembagian peran.  Pembagian peran dalam rumah tangga adalah suatu kebutuhan, hal ini berkaitan dengan keberlangsungan pernikahan seseorang sebagaimana yang dikatakan oleh Lewis dan Spanier (dikutip oleh Amelia, 2004), bahwa walaupun kesepakatan mengenai pembagian peran adalah penting, pada kenyataannya tingkat kepuasan semakin tinggi apabila pembagian peran semakin adil, baik dalam pencarian nafkah maupun penyelesaian tugas rumah tangga. Konflik dalam rumah tangga akan muncul jika terjadi perbedaan konsep peran atau pembagian peran antara suami dan istri. Contoh kasus selama pandemi yang saya dapatkan dari praktek psikologi adalah suami istri sama-sama bekerja, namun suami menolak berbagi pekerjaan rumah. Hal ini mengakibatkan istri harus bekerja, mengurus anak, dan juga mengurus pekerjaan rumah.

Bagaimana cara menyelesaikan konflik dalam rumah tangga?

Isu mengenai cara mencegah perceraian sangat relevan di Indonesia karena semakin meningkatnya kasus perceraian yang terjadi tidak hanya selama masa pandemi ini, tetapi juga angka peningkatan kasus setiap tahunnya. Lalu, bagaimana cara agar tidak terjadi perceraian? Salah satu cara agar tidak terjadi perceraian adalah dengan menyelesaikan konfilk yang ada dalam rumah tangga.

Gottman (1979) membagi penyelesaian konflik dalam konflik rumah tangga menjadi tiga (3) tahap. Secara umum, ada 3 tahap yang jelas untuk penyelesaian konflik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun