Mohon tunggu...
Jayanti M. Sagala
Jayanti M. Sagala Mohon Tunggu... Dosen - Performing Arts Studies, Western Classical Music

Music, Arts, Music Phycology, Film, Fashion.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Eksistensi Zulkaidah Harahap: Kreativitas dalam Reservasi Seni Maskulin

2 Agustus 2022   17:13 Diperbarui: 4 Agustus 2022   15:48 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zulkaidah Harahap, Amerika Serikat 1991 (Dokumentasi: Sekretariat PLOt Siantar, 7 februari 2014)

Sayang, dua tahun sejak penghargaan itu diberikan, Zulkaidah baru memperoleh tunjangan selama enam bulan. Zulkaidah mengatakan bantuan itu adalah bantuan biaya hidup pekerja seni tradisi perbulan yang di terima setiap enam bulan sekali untuk seumur hidup.

"Padahal saya tetap datang untuk melatih, pemerintah juga tahu karena beberapa kali mereka mengawasi saya melatih (Wulandari, 2008:88). Maksud saya, bantuan itu bukan cuma-cuma, tapi ada pekerjaan saya dibidang budaya. Lebih baik saya dikasih kerja melatih untuk generasi muda secara rutin dan saya juga bisa buat laporan." (WSI, 2008).

Zulkaidah menunjukkan sedikit kekecewaan terhadap pemerintah atas keterlambatan tunjangan Maestro tersebut. Sementara tawaran untuk pertunjukan sudah langka, bahkan dalam kurun waktu dua bulan belum tentu ada. Tidak dapat di pungkiri Zulkaidah bahwa uang tetap menjadi masalah utama agar bisa tetap melanjutkan hidup. 

Pengabdiannya sebagai seniman tidaklah sia-sia. PLOt memberikan gelar penghargaan kepada dua orang Maestro Batak, yakni Alister Nainggolan dan Zulkaidah Harahap. PLOt memberikan gelar "Nai Angkola Soripada Tuan Boru Siparungutungut Namangunghal Opera Batak" kepada Zulkaidah Harahap (wawancara Thompson Hutasoit, 7 Februari 2014). 

Meski usianya tak lagi muda, tapi kepiawaiannya bermusik tidak bisa di sepelekan. Sayang, sedikit anak muda khususnya yang berada dilingkungan tempat tinggalnya memanfaatkan itu.

"Saya masih punya ilmu untuk di turunkan." (Indriasari, 2012:16)

Bukan Zulkaidah namanya jika menyerah. Dalam usianya yang renta, Zulkaidah rela bolak-balik dari rumahnya di Tiga Dolok, ke Pematang Siantar dengan waktu perjalanan sekitar satu jam. Semua itu demi mengajar mahasiswa/i yang ingin belajar Opera Batak. 

Dia juga kerap di undang ke Jakarta untuk ikut bermain Opera Batak bersama rekan-rekannya di PLOt (Dewi, 2008). Zulkaidah mungkin belum bisa menyaksikan Opera Batak kembali menguasai panggung pertunjukan seperti pada masa keemasannya dulu. 

Namun, ia kini bisa sedikit bernafas lega karena sudah memiliki 'panggung' lain, yaitu mengajarkan ilmunya bermain sarune, sulim, menyanyi, dan manortor (menari) kepada generasi muda meski tanpa di bayar atau kadang-kadang bayarannya tidak cukup untuk menghidupinya (Indriasari, 2012:16). 

Kecintaannya pada kesenian tradisi Batak, telah mengorbankan kehidupan pribadinya. Mempertaruhkan segalanya untuk keberlangsungan Opera Batak, walaupun tidak lagi sebagai 'Ratu Opera Batak' bagi Zulkaidah tidak mengapa, asalkan tetap dapat mewariskan bakat dan tekatnya untuk Opera Batak. 

Zulkaidah khawatir kesenian Batak punah selamanya. Ia menegaskan sambil berharap pemerintah bergerak mengembangkan seni dan budaya Batak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun