Mohon tunggu...
Ahmad Jayakardi
Ahmad Jayakardi Mohon Tunggu... pensiunan -

Kakek2 yang sudah males nulis..............

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Film Kekerasan dalam Pusingan Sang Waktu

8 Maret 2016   07:54 Diperbarui: 8 Maret 2016   08:16 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar :pointofgeeks.com"][/caption]

Hari itu sang cucu yang balita, bersama orangtuanya tentu, bertandang ke rumah kakek dan neneknya. Merengek mengajak nongton pilem animasi yang baru diputar perdana hari itu…. "Zootopia". Entah dari mana pulak dia tau kalo Kakeknya ini penggemar pilem animasi kelas welter. Tentu saja ajakan sang centil itu gak bisa ditolak. Ketika sampai di gedung, bapak sang cucu itu cuma membeli tiket 3 lembar, bukannya 5. Dan setelah yakin anaknya berada di tangan pengasuh yang benar, dengan muka polos tanpa dosa, kedua orangtuanya dengan teganya, teganya teganya ngeloyor pergi, pacaran (lagi) sambil nonton pilem lain.

Et dah!

Kasusnya bermula dalam perjalanan pulang. Sang cucu terlihat murung, gak centil seperti beberapa tahun lalu (ketika masih batita) usai nongton “Frozen”. Ketika itu hampir seketika dia bisa menirukan nyanyian di pilemnya  “……….laligo, laligoooo, kamubek mamimoooo….”

Ada Apa?

Ternyata dia tercekam oleh tampilan sosok hewan-hewan buas yg kembali jadi pemangsa dan kembali menuruti naluri membunuhnya. Tampilan hiperrealis, meskipun hanya animasi, suasana yang suram dan tatasuara yang menggelegar itu ternyata membuatnya ketakutan. Setelah itu, baru Kakeknya ngeh kalo pilem yang diberi label oleh LSF sebagai SU (Semua Umur) itu ternyata aslinya oleh MPAA (bukan Majelis Permusyawaratan Anak-Anak ya?) diberi rating PG (Parental Guidance), dan bukan G (General Audiences). Yak,.... mestinya itu pilem untuk anak-anak yang sudah lebih dewasa..... Kakek, nenek dan orang tua sang cucu jelas bersalah karena tidak menyelikidi  (eh, bukan menyelidiki kan ya?) dulu rating film yang akan ditonton sang cucu.

Bahkan ’kekerasan’ (dalam tanda petik) sekarang ini diperlukan sebagai ’bumbu penyedap’ dalam film animasi......kenapa bisa begitu?. Apakah anak-anak harus dididik agar tahu secara dini kalau sesungguhnya dunia ini memang 'buas'?

Kekerasan berpengaruh pada kondisi jiwa anak-anak, itu jelas. Tapi seberapa jauh akan berpengaruh buat penonton dewasa, yang sudah punya standar nilai ’salah dan benar’? Penonton yang tidak lagi dibatas-batasi oleh legalitas umur? Karena sesungguhnya film dengan kandungan 'kekerasan', sejak lama sudah ada.

Dan........, standar tentang nilai kekerasann bisa sangat bias dan relatif . Bisa saja penonton yg ini bilang itu film penuh kekerasan, yg onoh bilang tidak.

Biasanya, film yang bergenre aksi-laga (action) berpotensi besar dijadikan polemik tentang adanya kandungan adegan kekerasan. Tapi rasanya semua setuju kalo film-film Bruce Lee yang kini menjadi klasik itu, misalnya ”Fist of Fury (1971)” lebih menonjolkan seni dan koreografi berantemnya daripada soal bunuh-membunuh.

Seperti juga film-film Jackie Chan. Pernahkah ada yang protes adanya adegan kekerasan dalam filem ”Drunken-Master (1976)” ?. Yang protes kalo filem itu kebanyakan koplak, malah mungkin ada. Atau film-film Jet Li yang nyaris semua adegan laganya tertata rapi itu.  Atau kelebat pertarungan pedang di film ”Hero (2004)” karya sutradara Zhang Yimou, rasanya lebih punya pesan lain yang lebih penting daripada sekedar menonjolkan darah yang tertumpah.

Beberapa film laga Jean Claude van Damme dan Arnold Schwasanaseggar,eh......Arnold Schwarzenegger juga mempertontonkan adegan kekerasan, tapi tidaklah terlalu menonjol, termasuk kategori yang bisa kita sebut dengan 'apa-boleh-buat-dah'.

Film bergenre thriller dan suspence juga bisa saja kebablasan jadi film kekerasan.

Sutradara kondang macam Alfred Hitchcock yang spesialis film suspence itu tahu benar ada batas yang sesungguhnya kabur itu. Meskipun sebenarnya dia secara jail beberapakali dia menyerempet batas itu. Adegan pembunuhan di kamar mandi oleh Norman Bates (diperankan oleh Anthony Perkins) dalam ”Psycho (1960)” memancing debat berkepanjangan.  Meskipun adegan itu diperlukan dalam konteks cerita. Tapi, sebagai sutradara, dia bisa membuat adegan kekerasan yang lebih vulgar, karena ceritanya memungkinkan untuk itu.                

Tokoh Hannibal Lechter  (Anthony Hopkins) dalam ”The Silence of The Lambs (1991)” gak perlu menunjukkan caranya memakan manusia yang jadi korbannya. Dia hanya duduk membelakangi kamera dan menoleh.......  Ekspresi wajah dan mulutnya yang belepotan darah sudah cukup membuat penonton tercekam terror. Dan untuk peran ’indah’ itulah Hopkins diganjar Oscar 1991.

Lalu... ”Lipstick (1976)” karya sutradara Lamont Johnson sebenarnya juga berpotensi menjadi film kekerasan. Film yang dibintangi kakak-beradik Margaux dan Mariel Hemingway (cucu penulis kondang Ernest Hemingway) itu ’hanya’ bercerita tentang perkosaan...... perkosaan, penyiksaan dan pembalasan dendam hampir sepanjang film. Tapi tidak ada adegan yang bisa dinilai sebagai ’mengumbar kekerasan’. Padahal sebenarnya potensi untuk itu sangatlah besar.

Beberapa dekade lalu, kita mengenal sosok Sam Peckinpah. Sutradara kondang yang dijuluki sebagai ’maestro’ dalam hal membuat filem bergenre kekerasan. Filmnya yang paling kondang (kondang karena banyak dikritik, maksudnya), ”Straw-Dogs (1971)”  yang dibintangi Dustin Hoffman itu berhamburan adegan perkosaan dan kekerasan. Lantas ada sutradara spesialis film koboi-spaghetti, Sergio Leone, pembuat film klasik ’Trilogi-Dollar” (Fistfull of Dollars-1964, For A Few Dollar More-1965 dan The Good The Bad and The Ugly-1966). Sergio Leone juga dijuluki sebagai violence-master’. Trilogi koboinya itu di jamannya tergolong film ’yang mengumbar kekerasan’ abis-abisan. Puluhan orang dibantai. Berjatuhan dari atap. Ditembak kakinya hingga merintih-rintih ..... dan seterusnya, dan selanjutnya.

Tapi kini, dalam pusingan waktu, adegan yang dikategorikan sebagai ’adegan kekerasan’ dalam film-film tersebut di atas cuma jadi bahan guyonan. Makin lama adegan kekerasan dalam film menjadi lebih realistik dan lebih detil. Film Straw Dogs yang di-remake tahun 2011 menjadi lebih ganas, meskipun gaungnya gak sekencang film aslinya.

Quentin Tarantino.

Jelas bukan sutradara ecek-ecek. Karyanya, “Pulp Fiction (1994)” memperoleh 9 nominasi Academy Awards, di antaranya untuk kategori Film, Aktor (John Travolta), Aktris (Uma Thurman), Aktor Pembantu (Samuel L. Jackson). Meskipun piala Oscar yang diterimanya cuma untuk Screenplay. Sutradara ini adalah salahsatu  icon film kekerasan yang paling sukses meneruskan pendahulunya. 

Marilah tengok salah satu karyanya yang sangat sukses secara komersial, “Django Unchained (2012)”. Di film ini Tarantino juga memboyong piala Oscar kategori Best Original Screenplay. Film sukses ini menuai kritik akan banyaknya adegan kekerasan. Misalnya di adegan puncak, ketika Django (Jamie Foxx) menuntut balas, sang jagoan membantai puluhan lawannya. Meskipun adegan bantai-bantaian dan maki-makian itu sama joroknya dengan film koboi masa lalu, tapi ada lanjutannya. Tokoh yang ditembak lututnya oleh Django itu lantas di close up dan secara realistik terlihat kalau lututnya meledak kena tembak dan menyemburkan darah. Detil yang tidak ditampilkan dalam film koboi spaghetti milik Sergio Leone.

Lantas sang Django berlindung di balik sesosok mayat sebagai perisai. Sang perisai diberondong peluru lawannya, daaaaan...... serpihan daging dan darah yang muncrat berhamburan dari mayat itu bisa jelas dilihat secara detil. Aula besar tempat peristiwa terjadi, dindingnya lantas saja dihiasi bercak darah seperti mural. Mural kekerasan, karena..... “Kekerasan adalah seni” (Itu kata Tarantino loh!)

“Deadpool (2016)”.

Meskipun nyaris tanpa semburan darah, tapi adegan menusuk lawan dengan 2 samurai dan mengangkatnya ke udara seperti sate itu rasanya cukup membuat pias muka. Pun adegan memotong pergelangan tangan sendiri yg detilnya diperlihatkan, membuat yang nonton tercekam. Dan banyak adegan lain, yang......... gak perlu lagi ditulis karena ini memang filem dengan kategori  “violence” dengan cetak tebal.

Masih kurang?

Film nominee Academy Awards tahun 2016 ini, “The Revenant”, juga lumayan banyak menampilkan adegan dengan atribut "kekerasan yang berseni". Adegan ketika sang jagoan (Hugh Glass-Leonardo Di Caprio) dicabik, dimakan dan diewer-ewer beruang adalah contohnya. Adegan klimaksnya  adalah contoh yang lain, ketika sang jagoan dipantek tangannya dengan pisau ke tanah oleh lawannya, dan dibalas dengan menyabetkan tomahawk kepunggung lawannya. Realistik, bung! Dahsyat! Darah muncrat kemana-mana!

Sekali lagi, ....... adegan kekerasan dalam film sejak dulu memang sudah ada. Gak perlu jadi polemik. Tapi dibandingkan saja. Dan rasanya semua setuju kalo film-film dengan bumbu kekerasan masa kini rasanya lebih realistik daripada dulu. Bahkan sekarang bukan lagi jadi bumbu, tapi sudah menjadi sajian utama!. Gak usah pulak bicara tentang gunting sensor segala. Karena saat ini semua film bisa diakses oleh semua orang lewat internet.

Apakah si Kakek ini sudah gak mampu lagi mengikuti jaman? Atau standar tentang kekerasan (violence) yang sudah makin sayup tak terdengar?. 

Oke, kan gak layak untuk melarang-larang kebebasan ber-ekspresi dan selera orang toh?

Oke, oke, kan penontonnya bisa melakukan ‘self-censorship’ dan menentukan pilihan film yang akan ditontonnya? Seperti kata mbak Indri-Landak, yang gak tahan gak usah nonton.

Oke, oke, oke, kan ini cuma sekadar hiburan? Sekadar film? Gak ngaruh buat saya dan anda kan?

Tapi apakah tetangga anda atau bukan tetangga saya, yang notabene kita gak tau siapa dia, juga gak terpengaruh atau malah lantas terpicu untuk mencobanya di dunia nyata?

Pertanyaan retorik ini, si Kakek yang nulis ini juga bingung mau jawab apa........

*

Maaf, ............... sengaja adegan kekerasan itu ditulis secara vulgar dan realistik. Semuanya ada di filemnya kok. Semua bisa di akses. Tanpa batas umur! Bukan ngiklan yak!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun