Mohon tunggu...
Jawani Eka Pyansahcilia
Jawani Eka Pyansahcilia Mohon Tunggu... Administrasi - Resensor Pemula

Seorang statistisi yang terjebak di dunia akuntansi, mencoba lari sejenak menjadi peresensi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Resensi Novel] Senandung Bisu Seorang Rahim

19 November 2018   00:45 Diperbarui: 19 November 2018   01:13 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Surga... Ajaran suci menyatakan bahwa di telapak kaki seorang ibu-lah surga berada. Maka akal pun bertanya: Ibu yang bagaimana? Apakah di setiap tapak kaki ibu, tanpa memedulikan wataknya, sifatnya, perangainya, tingkah-laku dan perbuatannya? Adakah surga di bawah telapak kaki ibunya Rahim dalam kisah novel ini? Rahim... Dia adalah anak bungsu, anak terakhir. Bapak-ibunya -- sebagaimana keyakinan sebagian orang -- percaya filsafat yang mengatakan "banyak anak banyak rezeki". Awal kehidupan Dlori dan Zulfin -- orang tua Rahim -- diliputi suasana yang penuh cinta dan kasih sayang, bahagia, dan berkecukupan.

 Kehidupan keduanya membuat iri para tetangga. Para tetangga seringkali berkasak-kusuk, saling memamerkan kelebihan, membangga-banggakan harta, anak, dan keturunan. Telinga pun memerah dan hati terasa sangat sakit karenanya. Zulfin terjebak pada perbandingan-perbandingan itu, dan "memaksa" diri dan suaminya agar bisa membuktikan pada semua orang bahwa walau anaknya banyak, mereka akan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan. Nafsu untuk memburu kesuksesan dan kebahagiaan di satu sisi, dan tujuan untuk membuktikan diri di hadapan semua orang di sisi lain, telah memerangkap pasangan suami istri itu ke dalam kubangan sedih dan air mata. Si bungsu Rahim menjadi korbannya.

***

Dilihat dari blurb novel senandung bisu, kita bisa menebak bahwa novel ini mengisahkan seorang anak bernama Rahim, anak bungsu dari pasangan suami istri -Dlori dan Zulfin-, yang tidak mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang tuanya.

Rahim yang tidak sekolah, harus membantu ayahnya di ladang. Rahim pernah meminta kepada ayahnya untuk diijinkan sekolah seperti keempat kakaknya, namun sang ayah malah membentaknya. "Tempatmu bukan sekolah, tapi di ladang sana!..." (hlm.7)

Kyai Na'im --sebagian orang menganggap bahwa kyai Na'im bukan orang biasa- merasa iba sekaligus menusuk batinnya ketika melihat anak seumuran Rahim harus mencangkul di ladang dengan terik matahari yang menyengat hingga menggosongkan kulitnya. Sejenak kyai Na'im teringat kembali dengan apa yang terjadi terhadap rumah tangga Dlori dan Zulfin di Desa Siwalan beberapa tahun silam.

Rumah tangga Dlori dan Zulfin awalnya selalu diliputi kebahagian karena Zulfin melahirkan anak-anak yang menyejukkan jiwa dan hidup serba berkecukupan dengan berhasilnya Dlori dalam bertani di ladang dan di sawah. Hal ini yang membuat sebagian tetangga merasa iri, dengki dan benci dengan kesuksesan Dlori dan Zulfin dalam berumah tangga. Hingga membuat Muhaya dan Wuryani --sepasang suami istri- selalu menggunjing Dlori dan Zulfin dengan menjelek-jelekan mereka kepada tetangga. Hal yang sepele pun tidak luput dari gunjingan. Zulfin terlalu mudah hamil dan terlalu mudah melahirkan anak-anaknya dengan jarak anak yang satu dengan yang lain terlalu dekat. Dlori yang berhasil panen besar dalam menanam melon dan jeruk. Tidak hanya itu, gaji pembantu mereka juga menjadi bahan pergunjingan Wuryani. Hati Zulfin sedikit goyah karena kasak-kusuk itu. Keyakinannya bahwa 'banyak anak banyak rezeki' agak bergeser oleh sebab kasak-kusuk itu. Dlori membantu menguatkan kembali istrinya dengan memberi pengertian. "Bahwa di dunia ini kita tidak bisa mengharap semua orang akan selalu baik kepada kita. Tetapi tidak berarti semua orang itu jahat kepada kita. Ada orang baik. Pun ada orang jahat. Ada orang yang pura-pura baik, tetapi sesungguhnya jahat. Ada pula orang yang tampaknya jahat, walau hakikatnya baik." (hlm.80)

Tak pernah berhenti juga Haji Ridlwan mengingatkan para tetangga yang sering menggunjing dengan nasehat yang diambil dari ayat al-Qur'an;"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) bisa jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) bisa jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Hujuraat : 11) (hlm.89)

Sepanjang kisah dalam novel ini, memang membahas peliknya rumah tangga Dlori dan Zulfin terhadap tetangga yang selalu menggunjing mereka. Dari awal mereka memulai rumah tangga sampai mereka memiliki anak bungsu bernama Rahim. Kesabaran mereka benar-benar diuji. Hingga mereka sendiri akhirnya terjebak, menjadi besar hati dan sombong akibat terlalu berusaha membuktikan kepada tetangga bahwa mereka 'mampu' tanpa memperdulikan 'bahaya' yang sedang menunggu mereka.

Ujian pun datang masuk ke dalam rumah tangga Dlori dan Zulfin satu persatu, hal itu makin membuat Wuryani merasa senang di atas penderitaan mereka. Tapi siapa sangka bahwa Wuryani akan menerima akibatnya atas perbuatan yang ia lakukan kepada Dlori dan Zulfin.

Ketika ujian berat yang masih harus dihadapi Dlori dan Zulfin, Zulfin melahirkan anak bungsunya --Rahim, anak yang tidak diharapkan kelahirannya-. Rahim menjadi korban dan selalu disalahkan atas kegagalan rumah tangga orang tuanya. Perlakuan orang tuanya terhadap Rahim sungguh berbeda 180 derajat dibandingkan dengan keempat kakaknya. Kakaknya yang diberikan kasih sayang penuh, sedangkan ia benar-benar tidak dianggap anak oleh orang tuanya. Dan pada akhirnya, orang tua Rahim baru menyadari bahwa Rahim adalah anak yang sebenarnya diharapkan ketika orang tua Rahim sudah memasuki masa tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun