Mohon tunggu...
jaucaw
jaucaw Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

mas-mas pada umumnya

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mendaki Gunung

25 Januari 2023   12:13 Diperbarui: 25 Januari 2023   12:28 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puncak Mahameru, sekitar 2018.

Dalam satu minggu terakhir cukup banyak ajakan naik gunung. Ada lah sekitar empat ajakan, kira-kira ke Wilerang, Arjuna, Semeru, dan Lawu, yang tiga diantaranya sudah pernah saya injak puncaknya. Dan respons saya juga begitu-begitu saja.

"Masih belum ada waktu", bukan karena sibuk tapi masih focus  untuk mengerjakan sesuatu. Sebenarnya, saya percaya bahwa tidak ada istilah "belum ada waktu", karena itu hanya masalah prioritas saja. Saat anda memprioritaskan sesuatu, pasti anda akan menyediakan space untuk sesuatu itu. Jika tidak, maka ya sesempatnya saja. Begitulah kira-kira.  Antara menyempatkan dan sesempatnya ternyata mengandung makna rasa yang tidak sederhana, yang terlalu dalam.

Permasalahan saya dalam hal mendaki gunung sama seperti masalah mainstream orang-orang pada umumnya. Bukan pada fisik, karena setiap weekend sore saya selalu menyempatkan untuk lari. Setiap badan ini tidak pegal, saya selalu menyempatkan untuk ke gym. Jadi ya cukuplah untuk pembiasaan.

 Bagi saya, mendaki gunung itu hanya ada tiga hal yang memang benar-benar harus clear sebelum mengangkat tas carrier, yakni  waktu dan uang dan partner (saya memang tidak mau naik gunung secara solo, tapi tidak suka jika terlalu banyak orang).

Waktu. Benar memang, mendaki gunung hanya dua, tiga sampai empat hari, tergantung track dan ketinggian gunung juga sih. Tapi kalkulasi itu belum termasuk nyeri-nyeri pasca turun gunung. Sependek pengalaman saya pasca berhasil menginjakkan kaki di puncak Mahameru, saya tidak bisa berkegiatan secara optimal hingga lima hari. Saat itu maraton memang. Pagi masih di puncak, menjelang maghrib sudah di Ranu Pani. Jadi kalkulasi totalnya adalah sekitar seminggu. 

Spend waktu seminggu untuk hari ini rasanya sangat berat, karena ada sesuatu lain yang memang harus dikerjakan dan dituntaskan. Masalah waktu ini yang kira-kira belum bisa saya akali hingga hari ini. Berarti naik gunung bukan prioritas? Yap, memang bukan.  

Uang. Masalah ini sering meradang saya saat masih kuliah dulu. Sebenarnya naik gunung itu murah, apalagi ditanggung kolektif. Tapi kadang masalah uang harus relate dengan moment. Saat memang ada uangnya kadang momennya tidak pas. Saat momentnya pas kadang uangnya tidak ada. Muter aja disitu. Ya wajarlah, bagi mahasiswa yang berkawan karib dengan Indomie, ngelinting tidak punya uang adalah makanan sehari-hari kehidupan.

Partner. Partner jangan diartikan sebagai pasangan lo ya. Partner naik gunung ini beda dengan partner kehidupan. Pliss, tolong. Bahkan selama masih pacaran dulu saya nggak pernah naik gunung sama do'i. eh pernah ding, ke Bromo. Tapi Bromo bagi saya bukan mendaki gunung, tapi naik motor ke gunung.

Yapz, orang-orang senja bilang kalau untuk tahu karakter orang yang sebenarnya, ajaklah mendaki gunung. Saya dengan sangat sadar mengkonfirmasinya. Posisi sedang mendaki gunung, adalah posisi terdegradasi. Tenaga, dan pikiran sama-sama terkuras. Belum lagi ada kekhawatiran akan ancaman-ancaman yang ada, seperti binatang buas, cedera dan makhluk halus (selama tidak neko-neko, saya pikir tidak perlu khawatir dengan makhluk halus).

Disisi lain, ada ekspektasi terbayarnya lelah dengan pemandangan puncak yang indah. Jadi dalam posisi degradasi, namun ada ekspektasi besar. Disitu ada yang namanya ambisi. Tidak semua orang bisa mengendalikan ambisinya. Kecerdasan dan keterampilan mengendalikan ambisi ini akan menampakkan karakter asli sesorang itu. Mungkin seperti itulah, logika elek-elekan ala saya.

Exactly, saya tahu busuknya teman saya lewat pendakian gunung. Saya tahu ketulusan teman saya lewat pendakian gunung. Persetan dengan bagaimana pembacaan mereka ke saya, saya tidak peduli. Tapi buktinya, beberapa teman saya yang pernah mendaki bersama saya, sering ngajak ulang dengan track yang berbeda. Artinya, saya nggak jelek-jelek amat dong, hehe (songong). 

Meskipun, sampai hari ini saya nggak pernah mendaki dengan partner yang sama. Ini bukan karena teman saya busuk trus saya tidak mau mendaki bersama lagi, tapi kok ndilalah memang belum ketemu momentnya saja. Saya sangat terbuka kok dengan perubahan orang. Jadi, bukan mentang-mentang saya tahu busuknya kemudian saya tidak mau mendaki dengannya lagi ya. 

Terlepas dari itu, Partner dalam mendaki bagi saya sangat penting. Lagian saya juga masih amatir, yang tidak dinaungi oleh komunitas alam apapun, dan masih perlu belajar banyak lagi. 

Naik gunung bukan prioritas saya, tapi saat saya jenuh selalu ada keinginan untuknya. Saya sangat enjoy and chill saat di gunung. Tapi ya begitu, harus ada waktu, spend money, dan partner. Jika satu saja diantara ketiga hal tersebut absen, maka niat saya dalam mendaki otomatis gugur. 

Gunung selalu menstimulasi saya untuk belajar berbagai hal. Banyaknya hal yang saya dapat dari gunung, sebanding dengan yang hilang. Begitulah cara kerja semesta, selalu ada harga yang harus dibayar untuk sesuatu.

Ini hanya pengalaman personal. Bisa relate dengan anda, bisa enggak.

Salam hangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun