Mohon tunggu...
jaucaw
jaucaw Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

mas-mas pada umumnya

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tentang Bio (2)

28 Mei 2022   02:25 Diperbarui: 28 Mei 2022   02:31 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Oke, saya lanjut ya..

Dulunya, bio itu menyihir saya menjadi orang yang tidak akan menyia-nyaiakan apapun meski kepala saya bilang kemungkinannya sangat kecil untuk berhasil. Saya menjadi orang sangat ambisius dalam menggapai keinginan saya. Beberapa berhasil, tentu dengan izin Tuhan. Tapi ada juga yang kemudian gagal. Di posisi ini, saya merasa menjadi pribadi yang sangat kerdil, dan tak jarang untuk menyalahkan diri saya sendiri, dan bahkan lingkungan.

Seiring perkembangan, saya terus mengupgrade diri saya, yang salah satunya memperluas referensi bacaan saya (meski nggak luas-luas amat sebenarnya) dalam filsafat. Saya berkenalan dengan Plato, Aristoteles, Phytagoras, Heraklitus, Zeno dan lain-lain yang sekarang saya sudah agak lupa. Kemudian saya berkenalan dengan madzhab Stoikisme (ada yang menyebutnya sebagai agama yang muncul di permukaan pada era Zeno. Tenang, saya tidak dipihak yang meyakini stoik sebagai agama yah). Tapi entahlah, dari berbagai wacana yang pernah saya sentuh, bagian paling sederhana dari si Stoik ini yang saya pernah coba praktekkan dalam dunia saya. Dan ternyata not bad.

Mulai dari tidak melupakan peranan Tuhan, mencintai dan memahami diri sendiri, berkarya, dan lain-lain.

Terlepas dari itu, saya tetap menjadi pengembara waktu yang membabi buta terhadap mimpi.

Saya selalu mendikte Tuhan, Ya Allah pokok'e, Ya Allah kudu ngeten. Aihh, naif sekali.

Kemudian saya disadarkan, bahwa dunia seisinya pun tidak akan pernah cukup untuk memenuhi ambisi saya. 

Pada gejolak transisi, saya sudah tidak lagi berlari. Saya perlahan berjalan. Toh, tanpa berlari pun saya masih bersama waktu. Saya juga yakin, Tuhan tidak akan luput dalam mengarahkan kaki ini untuk berjalan.

Dengan begini, saya bisa lebih dalam melihat kanan kiri, sehingga bisa menyesuaikan diri saya pada lingkungan. Bukan lingkungan yang harus menyesuaikan saya. Justru di posisi ini saya lebih banyak belajar, mulai mengenal dunia tidak dengan kacamata kuda. Bahwa dunia ini mempunyai kompleksitas yang maha-expert. Bahwa setiap kepala punya masalahnya masing-masing. Bahwa setiap garis tangan punya keberuntungannya masing-masing. Pada titik itu saya tertampar dan sadar, betapa kejamnya saya jika dunia harus berputar untuk diri saya sendiri.

Dampaknya juga sangat signifikan, saat senang saya akan sadar bahwa itu tidak akan lama. Saat sedihpun itu pasti akan berlalu, termasuk cidro, itu hanyalah barang yang fana.

Di titik itu saya bukanlah orang yang kehilangan mimpi-mimpi saya. Mimpi itu tetap hidup, meskipun setengah mati saya berusaha untuk hidupkan dalam senyap. Bahwa saya adalah maestro bagi diri saya sendiri yang orang lain tidak perlu tahu. Saya berkarya untuk diri saya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun