Mohon tunggu...
Jati Kumoro
Jati Kumoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - nulis di podjok pawon

suka nulis sejarah, kebudayaan, cerpen dan humor

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nonton "Wayang Demit" di Daerah Selatan Yogya

14 September 2019   06:23 Diperbarui: 14 September 2019   06:28 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada tahun 90- an, ada sebuah peristiwa yang cukup membuat heboh, terutama warga Yogya yang ada di daerah selatan, yang berkaitan dengan adanya sebuah pertunjukan wayang kulit semalam suntuk yang konon atas permintaan dari orang yang sudah meninggal dunia beberapa tahun sebelumnya.

Sang dalang yang menerima order itu juga tak mengira jika yang menanggap wayangnya adalah orang yang sudah lama meninggal. Hal ini dikarenakan uang yang diterima sang dalang, yang saya lupa beritanya, entah itu uang panjer (uang muka tanda jadi) atau uang secara keseluruhan untuk biaya pementasan acara wayang itu, adalah uang yang nyata dan berlaku sebagai mata uang resmi.

Mendengar adanya berita tersebut saya lalu menghubungi Pak Ab, yang kebetulan juga sudah mendengar akan adanya pementasan 'wayang demit', begitu istilahnya, untuk minta agar nanti mau menemani menontonnya. Dan Pak Ab pun tak menolak permintaan saya.

Menjelang malam hari pertunjukan wayang tersebut diadakan, saya sudah mruput datang ke rumah Pak Ab untuk selanjutnya pergi menuju ke lokasi pementasan 'wayang demit' dengan berboncengan sepeda motor. Lumayan jauh lokasinya, sekotar 20 km ke arah selatan kota Yogya.

Cuaca selama perjalan menuju ke lokasi di malam hari itu ternyata juga kurang bersahabat. Hujan gerimis masih terjadi, namun tak menjadikan halangan buat kami berdua.

Hanya ketika memasuki desa lokasi yang menjadi tempat pementasan itu yang jalannya sedikit merepotkan. Jalan desa yang masih berupa tanah dan licin karena banyak genangan air akibat sisa-sisa air hujan yang belum kering karena masih sedikit gerimis, membuat saya harus ekstra hati-hati mengendarai motornya.

Selama memasuki jalan desa yang kondisinya licin berulang kali saya menyaksikan sepeda motor bersama penumpangnya, baik yang berboncengan maupun tidak, masuk nyungsep ke lahan pertanian yang ada di sisi seberang jalan. 

Lucunya, ketika ada yang jatuh nyungsep itu malah jadi bahan tertawaan oleh yang melihatnya, termasuk saya juga. Dan yang terjatuh-pun juga ketawa-ketawa 'kecut' saja saja sambil mengumpat tak karuan, wkwkwk.

Memasuki areal pementasan, rupanya para penduduk daerah sekitar sudah mengantisipasinya dengan menyediakan tempat parkir kendaraan. Kami pun segera menitipkan kendaraan dan melanjutkan perjalanannya menuju ke lokasi pementasan wayangnya dengan berjalan kaki.

Suasana di desa itu benar-benar ramai. Lokasi tempat pementasan wayangnya tak ubahnya sebuah pasar malam yang penuh dengan manusia yang antusias untuk menonton pertunjukan wayang kulit.

Ada sebuah kejadian yangcukup aneh menurut saya. Di tengah jalan tanah yang menuju tempat pementasan wayang, ada sesaji yang diletakkan pas di tengah jalan. Pengunjung yang lalu lalang berjalan kaki melewati jalan tanah itu harus menepi agar tidak menginjaknya.

Pak Ab yang berjalan bersama saya tiba-tiba berhenti lalu berjongkok di dekat sesaji yang sepertinya berisi kembang dan barang lain entah apa namanya yang saya juga tak paham. Beberapa saat kemudian Pak Ab berdiri dan mengajak saya untuk berjalan mendekat ke arah panggung pentas 'wayang demit' itu dilaksanakan.

Anehnya, saat saya dan Pak Ab menjauh dari sesaji itu, tiba-tiba saja sesaji itu menjadi barang rebutan oleh kaum laki-laki yang ada di sekitar tempat itu. Saya hanya melongo saja melihatnya.

Pak Ab malah tertawa sambil bertanya," Dik Jati nggak ikutan rayahan ambil sajennya?"

Saya jawab dengan pertanyaan pula,"Lha untuk apa?"

Pak Ab Cuma tertawa mendengarnya.

Waktu itu saya menjawab seperti itu juga karena tak paham untuk apa rebutan sesaji. Apalagi ini sesaji untuk pertunjukkan wayang dari orang yang sudah meninggal. Buat apa diperebutkan. Kayak orang tak punya kerjaan saja.

Selanjutnya sampailah kami di dekat panggung pementasan wayangnya, penontonnya berjubel-jubel hingga melebar ke kebun yang ada di kanan kirinya. 

Ternyata bangunan tempat yang dijadikan pertunjukkan wayang itu adalah sebuah bangunan yang cukup besar yang di belakangnya adalah sebuah makam. Makam dimana orang yang mengorder pertunjukkan wayang itu disemayamkan bertahun-tahun yang lalu. Olalaaa...!

Tak berapa lama kami berdua menonton acara wayangnya yang tampaknya masih pada acara pembukaan lakon pertunjukkan itu. 

Tiba-tiba ada angin yg berhembus agak kencangmunculnya dengan diikuti bau harum bunga sesaji yang semerbak. 'Mak brenggg...!' Harumnya bunga bikin merinding orang-orang yang penakut seperti saya ini.

Setelah muncul angin dengan disertai harumnya bunga itu lalu Pak Ab mengajak saya pulang. Saya pun hanya manut saja, namanya juga orang takut, hehehe.

Menurut Pak Ab, munculnya angin dan bau kembang itu pertanda bahwa 'yang punya hajad' sudah datang dan menonton acaranya. Pantas saja bulu kuduk merinding saat merasakannya.

podjok pawon, September 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun