Dalam pandangan saya, sosok wayang Sumantri yang dijadikan contoh akan sikap kepahlawanan dalam Serat Tripama adalah kurang pas. Ada beberapa hal yang menjadi alasannya:
Pertama adalah sikapnya yang kurang pantas karena terlalu "sok jagoan" dan berani menantang adu kesaktian dengan Prabu Arjunasasrabahu yang menjadi rajanya hanya demi membuktikan apakah rajanya ini benar-benar sakti mandraguna.Â
Bagaimana seandainya dalam adu kesaktian tersebut Prabu Arjunasasrabahu kalah? Dapat dipastikan niatnya untuk mengabdi ke kerajaan Maespati jadi berubah, bukan untuk mengabdi kepada raja, yang dalam hal ini adalah Prabu Arjunasasrabahu, tetapi akan mengkudetanya dan menjadikannya dirinya sendiri menjadi raja sekaligus menjadikan Dewi Citrawati sebagai isterinya.
Yang kedua adalah sifat ketidakjujurannya saat diperintahkan Prabu Arjunasasrabahu untuk memindahkan Taman Sriwedari dari Kahyangan Utarasegara ke Maespati. Yang berhasil memindahkan taman ini bukan Sumantri, tetapi adiknya yang bernama Sukasrana.
Dengan pertolongan adiknya yang berwujud "buto bajang" atau raksasa kerdil yang sakti ini akhirnya Sumantri bisa memenuhi tugas yang diperintahkan rajanya. Akan tetapi Sumantri tidak mengatakannya kepada  Prabu Arjunasasrabahu. Bahkan Sumantri merasa malu jika harus menunjukkan ujud adiknya kepada sang raja, dan sampai hati mengusirnya dengan cara menakut-nakuti Sukrasrana dengan menodongkan anak pahan.
Sialnya, anak panah yang dipakai untuk menakut-nakuti itu terlepas dan membunuh Sukasrana. Apapun dalihnya, sikap demikian tak pantas dilakukan terhadap orang yang telah membantu pekerjaannya, terlebih-lebih itu adalah saudaranya sendiri.
Perkara Sumantri gugur membela raja dan negeri Maespati dalam peperangannya melawan Rahwana juga bukan sesuatu yang pantas dikagumi. Wajar saja seorang patih tewas di peperangan, tak berbeda dengan panglima perang atau prajurit lainnya. Tak ada yang istimewa dan layak diteladani dalam sikap perilakunya sebagai ksatriya.
podjok pawon, April 2019