Mohon tunggu...
Jati Kumoro
Jati Kumoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - nulis di podjok pawon

suka nulis sejarah, kebudayaan, cerpen dan humor

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Larangan Bagi Keturunan Tionghoa Untuk Memiliki Tanah di Yogyakarta

19 Februari 2019   12:59 Diperbarui: 19 Februari 2019   14:03 2654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada tahun 1975 Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku kepala pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan surat Instruksi Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang isinya tentang penyeragaman kebijakan  pemberian hak atas tanah untuk seorang WNI Non-Pribumi. Yang dimaksud dengan non-pribumi ini adalah orang-orang keturunan asing, baik itu keturunan Eropa, Non-Eropa, Arab, India maupun Cina/Tionghoa.

Dapat dilihat bahwa atas dasar peraturan tersebut semua warga Non-Pribumi yang tinggal Daerah Istimewa Jogjakarta tidak diperbolehkan untuk memiliki tanah dengan status hak milik. Mereka hanya boleh memiliki tanah dengan status Hak Guna Bangunan (HGB). Hanya berkutat pada persoalan status kepemilikan tanahnya, bukan dilarang untuk memiliki tanahnya.

Berdasarkan sejarahnya, larangan kepemilikan tanah untuk orang asing di Yogyakarta ini dimulai dengan adanya peraturan dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1875 yang isinya melarang pribumi untuk menjual tanahnya kepada orang asing. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk melindungi petani dari pengusaha yang bermodal besar.

Jika dahulu dilarang oleh penguasa Hindia Belanda, mengapa sekarang pemerintah, dalam hal ini pemerintahan DIY, juga melarang dengan menerbitkan surat  Instruksi 1975? Sama halnya dengan pemerintah Hindia Belanda, pemerintahan DIY juga melakukan pelarangan tersebut demi melindungi warga DIY dari para pemodal besar non-pribumi.

Kaitannya dengan pelarangan terhadap keturunan Cina di Yogyakarta, hal ini mungkin juga dilatar belakangi oleh fakta sejarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak jaman pra kemerdekaan hingga kini,kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh keturunan Cina di Yogyakarta sangatlah kuat, bahkan dahulu mereka juga membeli tanah-tanah di Yogya.

Namun, pada masa revolusi perjuangan terjadi krisis hubungan antara para keturunan Cina di Yogyakarta dengan penguasa DIY yang dalam hal ini adalah Sultan HB IX.

Para keturunan Cina waktu itu hendak mengungsi, meninggalkan Yogyakarta.  Sultan HB IX pun bereaksi dengan mengatakan bahwa jika para keturunan Cina itu mau mengungsi silakan saja, tetapi untuk selanjutnya tidak akan pernah ada lagi izin bagi etnis Cina untuk tinggal di Yogyakarta.

Sikap para keturunan Cina yang ingin mengungsi itu diartikan oleh Sultan sebagai tindakan yang tak patut dan dianggap lebih membela Belanda. Akibatnya, meskipun akhirnya mereka tetap tinggal di Yogyakarta dibawah perlindungan Sultan, namun hak milik mereka dicabut. Pencabutan hak milik ini tetap dipertahankan oleh Hb IX, bahkan diperkuat lagi dengan turunnya instruksi tahun 1975 tersebut.

Hingga sekarang peraturan itu pun tidak diganti oleh Sultan HB X selaku pimpinan kraton dan pemerintah DIY.  Warga keturunan atau non-pribumi masih tetap boleh tinggal di Yogyakarta. Akan tetapi dalam kepemilikan tanah, mereka hanya bisa memiliki Hak Guna Bangunan (HGB). Tujuannya pun tetap yaitu untuk melindungi warga DIY terhadap para pemodal besar dan juga sekaligus untuk untuk mencegah adanya kesenjangan dalam penguasaan tanah antar kelompok dalam masyarakat di DIY.

wassalam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun