Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sulur Beringin dan Kue Serabi

29 Juli 2012   06:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:29 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13435440831367213581

Aku suka Beringin ini. Ia berbeda dari semua pokok yang rapi berdiri sepanjang trotoar di setapak jalan menuju gerbang sebuah perumahan. Ia tidak terlalu tinggi dan bukan pula dari golongan yang kerdil namun congkak menuntut harga yang melangit. Ia tidak nampak tua walau dirinya selalu dikaitkan dengan umur panjang. Ia pun tidak terlalu rimbun seperti kebanyakan jenisnya, hingga setiap lahan lapang seperti alun-alun, wajib ditungguinya agar tercipta nuansa megah dan mengayomi; sebuah simbol keharusan di pelataran sebuah istana.

Syutt! Syutt! Syutt!

Lihatlah aku berayun.-ayun. Dari keseluruhan dirinya, si Beringin itu, yang paling membuatku suka adalah sulur-sulur yang lebih panjang dari tinggi tubuhnya. Begitu lebat hingga serupa dengan tirai yang mampu mengaburkan kekokohan dirinya, dan menampakkan hanya raut kebijaksanaan yang berwibawa. Begitu panjang hingga tiap lidahnya menjilat lantai bumi. Sulur-sulur yang kokoh namun gemulai menari; bergoyang anggun; dan menyapu tanah ketika angin berhembus malas atau trengginas. Darinya aku bisa berayun dari satu sulur ke sulur yang lain. Sulur-sulur itu adalah tempatku membunuh kebosanan sekaligus kanopi teduh yang melindungiku dari sengatan surya yang melelehkan jiwa dan raga.

Srek ! Srek ! Srek !

Suara milik sekelompok lidi yang bersatu menggiring dedaun kuning milik si Beringin. Sepanjang masa, helai demi helainya selalu meluruh setelah ditinggalkan zat klorofilnya. Lalu tersebar menyelimuti bumi yang dipijak pokok hitam tempatnya semula jumawa sebagai mahkota. Hujan yang turun di musim berikutnya adalah siraman bagi jasadnya yang telah digadang-gadang kerajaan bawah tanah. As-sam selalu dijemputnya tanpa bermuka masam. Sebab demikianlah siklus hidup yang telah dituliskan untuknya.

Nenek penjual kue serabi itu tengah menyapu. Ritual menyingkirkan reruntuhan daun, agar tersedia sedikit lahan di trotoar tempatnya berjualan. Sesaat kemudian, sebuah bukit kecil diperolehnya dari hasil menyatukan dedaunan kering yang berserakan. Nenek itu tak pernah membakarnya. Ia hanya mengumpulkannya di sudut terdekat dari pokok beringin. Ia tahu aku sangat tidak suka dengan asap yang kerap membuatku tersedak-sedak, apalagi kinerja paru-paruku kini tak lagi seseru dahulu.

Kehadiran nenek itu selalu kunanti. Semua yang serba mini pada dirinya, selalu mendatangkan kesenangan tersendiri untuk diamati, walau jauh dalam lubuk hati, ada benci yang kusembunyikan hati-hati. Tubuhnya terlihat semakin kecil karena punggung bungkuk sebab seluruh hidupnya telah dihabiskan untuk menggendong bakul bambu bekalnya berjualan. Namun punuk serupa unta itu tak menghalangi aktifitasnya membenahi perangkat dagang yang sangat kuhafal. Dingklik kecil, tungku-tungku kecil, wajan tebal kecil, dan spatula yang juga kecil. Perangkat serupa mainanku itu juga menghasilkan kue bulat yang kecil-kecil. Kue serabi yang sangat mengundang selera. Bundar serupa bulan putih, dengan bulatan coklat dari adonan tepung bercampur air perasan kelapa dan gula jawa.

Wuss! Wuss! Wuss!

Orang-orang lalu lalang, tanpa menghiraukan si nenek malang. Masih terlalu pagi untuk berharap serabinya habis terjual. Detik demi detik berlalu dan si nenek tampak tak peduli dagangannya tak laku. Aku tahu siapa yang dia tunggu. Namun aku sudah kenyang dengan sarapan yang ibu berikan. Maka seperti mereka yang hilir mudik, sibuk sendiri dengan urusan duniawinya, aku pun mengabaikan kehadiran si nenek penjual serabi.

Uhuk ! Uhuk ! Uhuk !

Tangisan itu selalu datang bersamaan dengan semburat merah-kuning-jingga yang menyapa pagi dengan ceria. Terlampau lama bercengkerama dengan selimut embun yang dingin, sejuk, segar, dan selalu sukses menghasut kemalasan, Surya pun perlahan menggeliat, membumbung lambat, seraya menebarkan siraman kehangatannya yang membangunkan kehidupan.

Si Beringin diam. Acuh, walau di hadapannya kini seorang perempuan berbalut kebaya lusuh nampak duduk bersimpuh. Tangannya bertangkup rapat, hati dan pikirannya sepakat bermunajat. Kepalanya tertunduk dalam, menyembunyikan airmata yang turun bulir demi bulir, menggantikan embun yang mulai menghablur. Tangisnya kian tak tertahan. Si nenek di hadapannya tak dihiraukan. Terus mengikuti hasrat di lubuk hati yang sekian lama ditekan.

Syutt! Syutt! Syutt!

Aku berayun menghampiri. Penuh rasa ingin tahu, ia pun kudekati. Begitulah, meskipun telah kutahu ialah satu-satunya perempuan yang setia datang selain dari si nenek serabi. Perempuan yang tangisnya tak akan terhenti hingga sepenggalah hari. Tangis yang dapat mencukupi bagi dahaga akar si beringin ini. Hingga sebutanku kepadanya adalah perempuan pemuja beringin. Keberaniannya menduakan Tuhan, sangat mengagumkan. Entah darimana lahirnya keberanian itu, hingga ancaman api penyucian pun dianggapnya kidung pelipur lara.

Satu sulur yang terdekat dengannya berhasil kugapai. Namun belum sampai tegur sapaku dituai, datanglah ibu memperingati. Hanya dengan sepasang matanya yang melotot lebar, aku tahu itulah perintahnya yang harus kupatuhi. Alih-alih menjadi anak yang berbakti, tetap saja kusibak sulur-sulur, berupaya keras agar kepalaku lekas terjulur. Kalaulah kata selamat pagi tak boleh diucapkan, maka sekedar memperhatikannya dari balik sulur-sulur ini, cukuplah untuk memuaskan dahagaku atas kunjungan si perempuan yang senantiasa sempulur seperti yang selalu terjadi setahun belakangan ini.

Wuss! Wuss! Wuss!

Orang-orang masih lalu lalang. Karena kesibukkan memang tak dapat dikekang. Namun tak seorang pun yang pedulikan si perempuan yang nampak bagai kehilangan akal. Mereka pikir, sebentar lagi akan datang suaminya yang menjemput pulang. Itu pemandangan pagi hari yang telah biasa menjadi santapan, jadi tak masalah untuk diabaikan. Persetan dengan cerita yang mendulang kesedihan dan telah ditanggung sepanjang sisa umur oleh si perempuan.

Dan mereka ternyata benar. Dugaan orang-orang itu tidak salah. Tak lama kulihat seorang pria berwajah sabar, datang membawa kasih sayang. Sepedanya dipinggirkan, tak menyadari ujung rodanya telah melanggar spatula si nenek serabi yang karatan. Dengan bujuk rayu yang terdengar pilu, ia berupaya mendukung tubuh si perempuan yang dipanggilnya ‘istriku sayang’…

“Waktunya pulang, istriku sayang. Sudahi kesedihanmu, atau putri akan terpenjara selamanya dalam istana yang bukan miliknya.”

“Benarkah harus kusudahi kesedihan ini?” tanyanya datar. Mendadak hilang semua kesedihan dari wajahnya yang tirus. Berubah rona nelangsa tanpa pretensi jiwa.

Suaminya hanya tersenyum. Lalu bergerak menuntun tubuh tipis yang lunglai saat mencapai bangku belakang sepeda untanya. Sebelum membantunya duduk, ditepuk-tepuk bangku itu, diusirnya debu dari tumpukan kain yang disusun agar tak menyakiti bokong sang istri yang telah serata dengan tanah tempatnya bersimpuh sekian lama. Pria sabar, suami seorang istri yang tengah merana, dan pasti seorang ayah bagi putrinya, lelaki separuh baya yang mengayuh pedal sepedanya dengan hati sama terluka. Tak peduli orang-orang yang riuh berkerumun menyebutnya sepasang suami istri gila.

Syutt! Syutt! Syutt!

Aku meraung-raung. Berlari di antara seribu sulur-sulur. Tempatku berayun-ayun. Sekaligus tirai yang memenjarakan duniaku dengan dunia 'sepasang suami-istri gila' yang kehilangan anaknya. Sejauh apapun sulur-sulur itu membawaku, sepeda itu lebih kencang berlari dari ayunan sulur-sulurku. Sulur-sulur serupa lidah naga yang tak berdaya bila angin tak berkenan mengusiknya.

Aku berteriak-teriak, hingga serak membuat kerongkonganku kian berkerak-kerak. Kucoba menghalangi laju sepeda itu. Kucoba beritahu disinilah aku. Tepat di balik sulur-sulur yang telah menyilap mata hingga tersamarlah keberadaanku. Dan tak kupedulikan ibu dengan raut wajahnya yang tak lagi ayu. Siung di sudut bibirnya itu berkilat penuh murka melihatku tak mempan dirayu.

Dalam samudra keluh yang melelahkan, ibu berhasil membekapku. Disenandungkan sebuah tembang yang sekejap membuatku terlena dan melupakan sepeda berikut penumpangnya yang sangat kurindu. Dan melebur kebencianku pada si nenek yang piawai membujuk hati dengan sepotong kue serabi.

Wuss! Wuss! Wuss!

Orang-orang lalu lalang. Di balik sulur-sulur, aku sayu memandang. Keriuhan itu semakin mengundang, tatkala seorang kanak-kanak kembali menghilang.

”Barusan ada di sini ! Aku hanya bergerak meraih dompetku, ketika putriku tiba-tiba hilang tak berbekas! Lenyap begitu saja! ” pekik seorang wanita, suaranya menjerit-jerit panik. Wajahnya pias serupa denganku yang diam bersembunyi di balik sulur-sulur.

Orang-orang lantas tergerak membantu, dan sibuk mencari si penjual serabi yang konon dilihat si putri. Namun tak seorang pun mengaku pernah melihatnya selama ini. Sebagian orang membuang empati dan bergumam dengan kejam tentang meningkatnya jumlah orang gila, acuh tak acuh pada wanita yang berkali pingsan menyadari anaknya tak kasatmata hanya dalam sekejap saja.

Ibu tersenyum lembut kepadaku. Tangannya menggamit seorang gadis kecil berwajah lugu. Isyarat matanya mengatakan dialah temanku. Agar musnah segala duka, agar ada teman berbagi sulur-sulur tempat kami kelak bermain petak umpet di dunia maya…

Kutatap dua pita kuning yang mengikat sepasang kepang di rambutnya; hiasan kepala yang serupa benar denganku dahulu. Kusadari tangan kecilnya itu masing-masing menggenggam sepotong kue serabi…

Aku berkerjap. Walau kopong, namun ada bulir hangat yang mengalir dari rongga kosong mataku. Bulir airmata itu membawaku terkenang kembali pada… kue serabi. Dari sanalah awal duniaku berpindah, dari segalanya yang nyata hingga menjadi maya, dari yang penuh mujur hingga terperangkap di balik sulur-sulur…

Syutt! Syutt! Syutt!

Bersamanya, teman baru itu, kunikmati ayunan sulur-sulur. Tak jarang kubisikkan kalimat yang menenangkan pada galaunya yang dapat mengundang murka sesosok mahluk bersiung yang gemar menampakkan figur seorang ibu. Galau yang sangat kupahami, karena itulah rasa yang kudapati saat pertama kali menyibak sulur-sulur beringin ini…

***

Pustaka kata:

As-Sam : maut

Dingklik : bangku kecil

Sempulur : berkelanjutan/terus-menerus

(Credit image: BillyCrafton [Flickr])

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun