Mohon tunggu...
Deden Karna Subrata
Deden Karna Subrata Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis artikel merupakan kesenangan, saya tulis setiap peristiwa berdasarkan sudut pandang saya, semoga tulisan tulisan saya yang saya share ke Kompasiana dapat memberikan manfaat.

Laki laki

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Tim Kampanye Jokowi Mar'uf Jabar, Nobar Film G30S PKI Akhir September (OPINI : KDM)

25 September 2018   18:40 Diperbarui: 25 September 2018   18:54 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Deden Karna Subrata

Menjelang tanggal 30 September, waktu saya duduk di bangku SMP, saya diwajibkan nonton Film G 30S/PKI sebagai bagian dari pelajaran PMP. Harga tiket masuknya Rp250, tiket yang cukup mahal ukuran saya waktu itu. Untuk mendapatkan Rp250 saya harus ngirit uang jajan selama 5 hari.

Uang jajan saya saat itu Rp50 per hari. Itu pun dapat saya peroleh karena saya pergi ke sekolah menggunakan sepeda dengan jarak 20 KM bolak balik. Uang Rp50 itu adalah pengganti ongkos angkutan umum.

Saya nonton di 'Misbar' (Girimis Bubar), sebuah bioskop terbuka yang ditutup bambu beralaskan tikar. Makanan paling tinggi kualitasnya adalah sangray suuk. Pada tahun berikutnya, film tersebut selalu diputar setiap tanggal 30 September di TVRI.

Saya sering mendapatkan cerita pemberontakan G 30S/PKI dari bapak saya yang tentara, yang pernah mempertahankan negara dari pemberontakan DI/TII dan pemberontakan PRRI/Permesta.

Kata bapak saya, sifat PKI itu adalah selalu mengadu domba, menebarkan fitnah, kebencian dan permusuhan. Itulah sifat-sifat yang tidak berperikemanusiaan. Membunuh adalah hal biasa ketika menghadapi orang yang berbeda pandangan politik.

Sifat meniadakan Tuhan membuatnya menjadi serasa tidak berdosa melakukan seluruh perbuatan itu. Kata bapak saya, mereka yang menjadi anggota PKI itu ada yang memang menjadi kader, ada juga yang sekedar 'tulis tonggong', yaitu mereka yang sekedar ikut pawai kemudian dicatatkan sebagai kader. Padahal, bisa jadi mereka yang dicatatkan itu tidak mengetahui.

Seiring perjalanan reformasi, film ini jarang diputar. Seolah ada rekonsiliasi dalam politik nasional. Bahkan yang paling menarik, Pak Prabowo berpasangan dengan Ibu Megawati saat Pilpres 2009 lalu. Setelah itu, Pak Jokowi dan Pak Ahok dicalonkan oleh Pak Prabowo sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Di berbagai daerah, ada koalisi lintas partai tanpa terhalang latar belakang pendirian partai. Karena itu, seluruh masalah ini sudah selesai, seluruh pandangan politik ini sudah selesai. Maka saya menganggap, yang nonton dan yang tidak nonton Film G 30S/PKI tidak menjadi masalah apa-apa.

Kalau saya sih akan nonton, tetapi saya tidak akan mempermasalahkan yang tidak nonton. Karena sikap anti PKI bagi saya bukan diukur dari nonton atau tidak nonton film itu. Tetapi, dengan berbuat keadilan, kebaikan dan kecintaan kepada negara dengan sepenuh hati, tidak menebar hoax, tidak memfitnah, tidak mencaci maki, tidak menghujat bagi saya merupakan sikap anti komunis.

Sekali lagi, ceuk sayaaaah ini mah. -DEDI MULYADI 

Yang jelas PKI melalui Tap MPRS No.25 tahun 1966 tentang pembubaran PKI masih berlaku, artinya PKI masih merupakan Partai terlarang di Indonesia. Filmnya sendiri yang biasa kita tonton di tahun 90an pada malam 29 September, pasca reformasi 98 sudah tidak di putar lagi di TV. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun