Mohon tunggu...
Jasman Simanjuntak
Jasman Simanjuntak Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang yang ingin terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Nomor Sekian

23 Mei 2015   14:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:41 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seorang akademisi bercerita. Kisahnya menyiratkan kesedihan, kekesalan, nada kemarahan. Meski tuturnya demikian, garis-garis duka jauh dari rautnya. Malah, dia sering melempar senyum.

Dia adalah Prof. Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. Gelar strata satu-nya didapat setelah mempelajari pendidikan matematika dari institut keguruan di Medan. Dia sempat mengajar di Maluku, dan kini di salah satu perguruan tinggi negeri di Sumatera Utara. Dia juga berada dalam barisan orang penggagas implementasi kurikulum 2013. Berdasar wacana dan kiprahnya, jelas dia tidak hanya mengerti perihal matematika semata, namun wawasannya luas dan mendalam.

“Setelah tamat SMP, aku melanjut ke SMA, temanku ke SMK,” katanya menyinggung personalnya.

Dua sahabat itu terpisah gedung sekolah. Mereka mengambil jalan masing-masing. Setelah tamat, Sinaga memilih menjadi mahasiswa di Medan. Tak sama, temannya itu hijrah ke Pulau Batam. “Saat itu zamannya Habibie.”

Kehidupan Sinaga di Medan tidak jauh berbeda dengan mahasiswa kebanyakan. Sementara temannya bekerja di Batam. Temannya Sinaga menjadi pengusaha. Dia bergerak di bidang beli, lalu jual pakaian bekas. Atas usaha itu, teman Sinaga memiliki uang yang dapat membeli taksi.

“Saat itu mobil masih murah karena tidak kena pajak,” katanya. Mobil itu dijadikan pemiliknya menjadi taksi mengangkat penumpang dengan tarif mahal. “tapi ongkos mahal.” sambung Sinaga.

Lulus dari perguruan tinggi, Sinaga betah dengan statusnya sebagai mahasiswa. Dia melanjutkan studinya ke Bandung. Sementara temannya itu tetap di Batam, dan tetap dengan pekerjaannya. Jadilah jarak pisah mereka semakin jauh.

Tidak banyak kisah yang diutarakan Sinaga semasa di Bandung. Tentang perkuliahan, percintaan, atau apa pun itu, -dalam periode itu- dia tidak bercerita. Dia cepat-cepat menyudahi masa-masa saat berjuang demi memperoleh gelar master pendidikan di Bandung.

Setelah kuliah setingkat strata dua rampung, Sinaga bekerja di Maluku. Menjelang tahun baru, dia sejenak meninggalkan tanah perantauan dan kembali ke kampung halaman.

Tidak jauh lagi udara dalam rumah orangtua akan dihirup. Rumah itu dibangun di bukit. Tempat itulah menjadi wadah Sinaga berlindung dan berteduh dalam waktu tidak sebentar semasa kecilnya. Sinaga berdiri di persimpangan menuju rumahnya, rumah orangtuanya.

Ban mobil mewah menggilas bumi di persimpangan menuju rumah orangtua Sinaga. Tak dinyana, sosok tak asing di mata Sinaga ada di dalam mobil itu. Dia tak lain adalah teman satu SMP, dahulu. Seorang teman yang memilih mengecap pendidikan di SMK, lalu bekerja ke Batam.

Sinaga dan temannya tak berbeda dengan kebanyakan orang. Pertemuan itu menghadirkan tegur sapa di antara mereka. Sinaga masuk mobil, melaju bersama temannya itu. Arah tujuan mereka sama. Mereka sekampung.

Sampai di tempat tujuan, roda tidak lagi melindas. Mobil mewah terparkir, membuat orang-orang berkerumun. Sinaga dan temannya keluar dari mobil itu. Kejap kemudian, tangan saling mendarat. Orang-orang di sana bersalaman. Salaman usai, orang dewasa mendapat uang Rp 50.000 dari teman Sinaga. Sedang anak kecil, Rp 20.000 dapat dibawa pulang sebagai hadiah. Sementara Sinaga, sebagai erselon III di tanah Pattimura, gajinya hanya Rp 85.000 per bulan. Dia tak bisa melakukan layaknya temannya itu. Jadilah tak seorang pun menjabatnya.

Perempuan keluar dari rumah di bukit. Dia berjalan dengan tubuh membungkuk, dimakan usia renta. Dia adalah ibu Sinaga. Kakinya melangkah menuju anaknya dan temannya. Tangan teman Sinaga dan Ibu Sinaga terekat dalam sebuah jabat. Tak lupa juga teman Sinaga menyisipkan uang.

Perempuan tua itu kembali ke rumahnya, bersama anaknya. Namun, mereka tak jua bersalaman. “Mamakku pun tak menyalamku.” Kata Sinaga.

***

Itulah sedikit kisah dari Sinaga perihal pendidikan. Warga kampungnya tidak lagi memandang orang berilmu sebagai hal yang patut dihargai. Label orang terdidik sekelas Sinaga dikalahkan oleh manusia tamatan sekolah lanjutan yang bisa memberi banyak uang. Potret itu tidak hanya terjadi di kampung halamannya, namun sudah berurat berakar hingga di bangsa ini.

Pendidikan sudah dinomorsekiankan,” keluh Sinaga. Profesor yang kakinya sudah pincang itu memberi argumennya. “Seharusnya pendidikan dinomorsatukan dari semua pembangunan lainnya.” sambungnya. Pendidikan yang membangun manusia kreatif dan tangguh tidak jadi hal pokok di negeri ini.

Sinaga juga memandang bahwa pendidikan kita sudah carut marut. Menurutnya, pendidikan selama ini berjalan dalam kadar transfer ilmu belaka, dari guru ke siswa. Kegiatan kelas tidak menjadikan siswa sebagai generasi kreatif dan tangguh. Ujung dari pendidikan selama ini tidak menciptakan siswa sebagai problem solver (pemecah masalah). Jadilah pendidikan yang telah berlangsung di republik ini tidak diutamakan, hingga timbullah paradigma seperti orang-orang di kampung Sinaga.

Medan, 23 Mei 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun