Dana riset di Indonesia memang kecil dan dengan regulasi yang kacau balau. Tidak semuanya tetapi sebagian besar. Apakah ini pendapat pesimistis atau sekedar rasa rendah diri melihat bangsa lain? Tentu saja tidak. Kita sering dibanjiri informasi semu yang menyesatkan. Kemudian kita berimaginasi lebih sejahtera dibanding Malaysia atau malah merasa setara singapura.
Indonesia termasuk 20 besar dalam hal size ekonomi di dunia. Benar tetapi itu bukan berarti kesejahteraan dan kemajuan teknologi kita berada di grade tersebut. Indonesia masuk 20 besar dari size ekonomi karena jumlah penduduknya yang memang banyak. Soal pendapatan perkapita, kita bukan papan atas di Asean, walaupun kita satu satunya anggota G20 dari Asean.
Tidak perlu jauh jauh ke Eropa, Jepang atau USA, coba kita jalan - jalan ke Malaysia saja, kita bisa cepat mudah menyimpulkan memang mereka lebih maju. Masih tidak setuju?Â
Baik mari kita lihat dari sisi kecanggihan pasar modal dan komoditasnya. Indonesia dan Malaysia adalah produsen kelapa sawit dunia. Malaysia sudah berkebun dengan cukup modern, sedangkan kita lebih identik dengan pembakar hutan untuk kelapa sawit.Â
Pusat perdagangan sawit dunia pun adanya di Malaysia dengan satuan harga Ringgit Malaysia. Tidak sedikit kebun2 di Indonesia yang harus jual CPO ke Kuala Lumpur dulu, karena disini tidak ada bursa sawit berkelas dunia. Sedangkan bursa komoditas berjangka dan hedging memerlukan sistem kualitas dan perdagangan dengan standart yang diakui dunia. Kita belum mampu membuatnya.
Riset di Indonesia berorientasi pangkat.
Teman saya seorang dosen teknik yang kebetulan melanjutkan program doktoral di Jerman saat ini terancam harus pulang tanpa gelar karena sistem beasiswa yang kaku dan tidak berorientasi hasil.Â
Dia bercerita, bahwa riset yang dia lakukan memang perlu waktu yang lama, di samping itu profesornya juga sangat idealis, sehingga banyak variabel harus di ubah ditengah waktu karena yang namanya penelitihan ya harus update dan benar benar memberikan hasil yang berkualitas sesuai dengan gelar doktoralnya.
Seingat saya sepanjang dia ambil doktoral di Jerman, teman saya tersebut sudah beberapa kali membawakan presentasi akademis terkait penelitiannya sampai ke USA. Kalau ke sesama universitas Eropa sudah berapa kali saya tidak tahu.Â
Jadi memang idealisme sulit untuk dibicarakan di Indonesia dengan orientasi penelitihan untuk kenaikkan pangkat, bukan untuk ilmunya. Pilihannya dua, tidak kembali ke Indonesia untuk melanjutkan program doktoralnya serta mengembalikan beasiswa yang sudah diterima atau kembali ke Indonesia tanpa gelar doktoral dari Jerman.
Kacaunya karya ilmiah di Indonesia.