Berargumentasi, menilai kinerja pemerintah atau badan usaha sebaiknya menggunakan data. Tetapi tidak semua data bisa valid digunakan apabila data tersebut dikelola atau hanya melibatkan sedikit pihak. Misalkan saja data BPS (Biro Pusat Statistik).Â
Data bisa saja sangat politis karena memang data sepenuhnya di collect oleh BPS, di analisa dan di tampilkan oleh BPS juga. Jadi cukup sulit bagi publik untuk membantah atau mengkritisi, walaupun sebenarnya publik juga bisa menggunakan analisa empirisnya walaupun tidak sedetil BPS.
Dari semua data ekonomi, data kurs Rupiah adalah data yang paling valid dalam mengukur kinerja pemerintah. Kurs rupiah adalah hasil proyeksi semua analisa fundamental dan ekspektasi pasar. Karena melibatkan banyak pihak dan kepentingan, juga murni bergerak oleh mekanisme pasar.Â
Memang dalam hal ini Bank Indonesia bisa saja menstabilkan kurs rupiah melalui intervensi pasar. Tetapi itu sifatnya terbatas dan jangka pendek hanya supaya tidak terjadi gejolak berlebihan. Tetapi tidak bisa dilakukan jangka panjang karena akan sangat menghabiskan cadangan devisa.
Periode 1 SBY:
Saat itu rezim berganti dari Megawati ke SBY. Di tahun pertama (2005) pasar menguji kinerja SBY bisa dilihat dari Rupiah yang sempat menyentuh 10ribu Rupiah per US Dollar dari angka sebelumnya di 9 ribu Rupiah per US Dollar. Tetapi pada tahun ke 2, 3, dan 4 terjadi stabilitas Rupiah yang luar biasa. Saat itulah ekonomi benar benar meroket, dunia usaha bangkit dari keterpurukan di masa Megawati.
Krisis Eropa 2009:
Pada tahun 2009 terjadi krisis Yunani yang melibatkan seluruh Eropa dan menyeret perekonomian dunia dalam ketidak pastian. Imbasnya Rupiah mengalami penurunan tajam sampai menembus 12,5ribu Rupiah per US Dollar.Â
Periode 2 SBY:
SBY berhasil meredam goncangan besar krisis Eropa sampai tahun ke 4 pemerintahannya kurs Rupiah kembali stabil di angka 9ribu sd 10 ribu Rupiah per US Dollar.
Masa Transisi Pemilu 2014: