Mohon tunggu...
Jarot Doso
Jarot Doso Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Sragen, Jawa Tengah. Setamat SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta, kuliah di Fisipol UGM. Pernah bekerja sebagai wartawan dan staf ahli DPR . Silakan mengutip atau memperbanyak tulisan saya, dengan menyebutkan penulis serta sumbernya. Terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hormatilah Orang yang Tidak Puasa

29 Agustus 2010   01:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:37 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_242604" align="alignleft" width="300" caption="Razia warung makan oleh Satpol PP di Kota Rangkasbitung, Banten, baru-baru ini. Korbannya mayoritas pedagang kecil yang tak berdaya (foto: koranbanten.com) "][/caption] MENURUT ajaran Islam, puasa Ramadhan hanya diwajibkan bagi mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Secara umum syarat itu ada dua, yakni muslim dan dewasa (akil balig). Dengan kata lain, mereka yang bukan pemeluk agama Islam dengan sendirinya tak terkena kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Begitu pula bagi seorang muslim namun masih kanak-kanak juga tidak wajib berpuasa Ramadhan. Bahkan, seorang muslim dewasa pun, lantaran sebab-sebab tertentu, bisa terbebas dari kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Misalnya seorang muslimah yang sedang datang bulan, hamil, atau menyusui; mereka yang uzur (lansia) dan sedang sakit; mereka yang tengah bepergian jauh. Secara rinci ketentuan mengenai hal itu bisa ditemukan dalam kitab-kitab ilmu fikih dan tak akan dibahas di sini. Namun, pembaca yang berminat mengetahuinya sekilas, bisa membaca tulisan saya, Ramadhan, Bulan Penggemblengan Diri. Yang menjadi fokus tulisan ini ialah fakta bahwa ajaran Islam sendiri tidak pernah memaksa kaum nonmuslim ikut berpuasa. Dalam kondisi tertentu, Islam malah membolehkan sebagian umatnya tidak ikut menunaikan kewajiban puasa Ramadhan. Bahkan, mereka yang sedang berpuasa pun bisa batal atau membatalkan puasanya karena alasan tertentu. Nah, dari kenyataan tadi, menjadi masuk akal bahwa para pemuka Islam atau kaum muslim pun sebenarnya wajib menghormati hak-hak mereka yang tidak berpuasa ini. Baik mereka itu beragama Islam maupun memeluk agama di luar Islam. Orang Islam dewasa pun, jika belum terpanggil untuk menunaikan ibadah puasa Ramadhan, tidak boleh dimusuhi atau dipaksa ikut menahan lapar dan dahaga. Sebab hakekat iman itu, apapun agamanya, sifatnya ialah panggilan, sukarela, dan berawal dari kesadaran pribadi. Orang lain memang bisa saja memaksa, akan tetapi tidak ada gunanya ibadah yang dilakukan tanpa keikhlasan. Ibadah yang dilakukan karena terpaksa menjadi tidak lillahi ta'ala (tidak dilakukan semata-mata karena Allah). Dalam konteks tadi, saya teringat Jenderal (Purn) Benny Moerdani yang pernah melontarkan ucapan, "Hormatilah orang yang tidak puasa." Ucapan mantan Menhankam/Pangab era Pak Harto itu tentu saja sempat memicu kontroversi, karena dinilai melawan arus. Terlebih Pak Benny beragama Katolik, sehingga cenderung menambah prasangka atau kecurigaan. Sebagai muslim, saya pun semula termasuk orang yang mengernyitkan dahi dan menganggap ucapan itu aneh atau terlalu mengada-ada. Apalagi rekam-jejak Pak Benny, selama menjadi petinggi Orde Baru, diduga terkait sejumlah pelanggaran HAM yang menewaskan puluhan bahkan ratusan umat Islam yang tak bersalah. Misalnya dalam peristiwa Tragedi Berdarah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Akan tetapi, terlepas dari track-record Jenderal Benny pada masa rezim otoriter itu, sebenarnya ucapannya tadi bila direnungkan dengan tenang, sangat bisa dipahami. Baik dipahami dalam konteks kebhinnekaan kita sebagai bangsa Indonesia maupun dalam kaitannya dengan substansi ajaran Islam itu sendiri. Dalam konteks pluralitas kita sebagai bangsa, bukankah Pancasila dan UUD 1945 menegaskan keharusan bagi semua warga negara untuk saling menghormati, baik kepada sesama pemeluk agama (toleransi internal) maupun terhadap penganut agama yang berbeda (toleransi eksternal). Warga negara Indonesia, apapun agamanya, karena itu juga memiliki kedudukan yang sama di depan hukum maupun pemerintahan (equality before the law). Sementara Islam mengajarkan kepada para pemeluknya untuk menunaikan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah atau ukhuwah insaniyah. Yakni saling menghormati di antara sesama pemeluk agama Islam (ukhuwah Islamiyah), sesama warga sebangsa dan setanah air (ukhuwah wathaniyah), serta sebagai sesama manusia atau hamba Allah di muka bumi ini (ukhuwah basyariyah/insaniyah). Islam, seperti diuraikan di dalam Al Quran, menegaskan bahwa jika Tuhan menghendaki, sebetulnya manusia dapat dijadikan-Nya satu umat saja. Tetapi Tuhan tidak menghendaki itu. Dengan kata lain, tak hanya dalam suku dan ras, terkait keyakinan pun Tuhan sengaja menjadikan manusia menganut agama yang beragam, supaya termotivasi untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Pembaca yang tertarik mengikuti tema ini lebih jauh bisa membaca tulisan saya Menjadi Muslim Tanpa Membenci Non Muslim. Sejalan dengan itu, maka Islam juga menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (laa ikraaha fiddiin, QS Al Baqarah: 256). Dan dalam menyikapi perbedaan keyakinan, semestinya semua umat saling menghormati kebebasan individu untuk menjalankan agamanya masing-masing (lakum diinukum waliyadin, QS Al Kafirun: 6). Pengertian saling menghormati itu mengandung makna resiprokal (reciprocity) atau dilakukan timbal balik antara dua kelompok yang berbeda atau lebih. Jadi, menurut saya, tidak tepat jika umat Islam hanya menuntut orang lain agar menghormati bulan puasa atau orang-orang yang sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Seharusnya, umat Islam pun pada waktu yang bersamaan, terbebani kewajiban untuk menghormati orang-orang yang sedang tidak berpuasa. Baik mereka yang tidak berpuasa ini muslim maupun nonmuslim. Razia Warung Makan Dengan memahami uraian di atas, menjadi jelas bahwa razia warung-warung makan yang buka siang hari pada bulan Ramadhan menjadi tidak elok dan tidak pada tempatnya. Baik razia tersebut dilakukan ormas-ormas swasta maupun Satpol PP dan petugas negara lainnya, sama saja tidak relevannya. Apalagi, seperti kita baca dari media massa, razia atau penutupan paksa juga dilakukan terhadap warung-warung makan yang telah memasang gorden atau tirai untuk menghormati mereka yang sedang berpuasa. Walhasil, penutupan secara mutlak terhadap warung makan pada siang hari bulan Ramadhan tersebut telah menimbulkan kesulitan tersendiri bagi warga masyarakat yang tidak berpuasa dan membutuhkannya. Terutama bagi para pekerja, mahasiswa, pelajar, musafir, turis asing, atau perantau yang tidak memasak sendiri untuk memenuhi kebutuhan makannya sehari-hari. Saya sendiri sebagai muslim  beberapa kali mengalami kesulitan demikian ketika tengah sakit dan tidak berpuasa. Karena saya di perantauan tinggal sendiri dan tidak memasak sendiri. Sementara warung-warung makan yang ada nyaris semua tutup pada siang hari. Walhasil, dalam kondisi sakit, saya sama saja tidak bisa makan, meski tak puasa. Kesulitan serupa ternyata dirasakan pula oleh kawan-kawan saya yang memeluk agama lain. Walaupun tidak berpuasa, pada bulan Ramadhan tak sedikit di antara mereka yang sehari-hari terpaksa mengonsumsi mie rebus, sereal, roti tawar, atau snack seadanya, lantaran warung-warung nasi tutup atau dipaksa tutup. Karena itu, melalui tulisan ini, saya mengajak saudara-saudara saya seiman, marilah kita sebagai muslim juga menghormati hak-hak atau kebutuhan saudara-saudara kita yang tidak berpuasa, dengan membiarkan warung-warung makan menjalankan aktivitasnya bagi mereka yang membutuhkan. Toh warung-warung makan tersebut tak satu pun yang berani menawarkan dagangannya kepada orang-orang yang sedang berpuasa. Rata-rata para pemilik warung malah sudah menutupkan tirai atau kain, demi menjaga perasaan orang-orang yang berpuasa. Lantas, mengapa masih dirazia atau dipaksa tutup juga? Apakah sedemikian lemahnya iman kita, umat Islam Indonesia, sehingga dikhawatirkan bakal tergiur untuk membatalkan puasanya setiap kali melihat warung makan yang masih berjualan? Karena itu, saya berpendapat, razia atau penutupan paksa warung-warung makan pada siang hari bulan Ramadhan tersebut, disadari atau tidak, justru meremehkan kualitas iman dan ketakwaan kaum muslim sendiri. Ironisnya lagi, sementara warung-warung makan milik rakyat kecil dirazia atau dipaksa tutup, namun pada saat yang sama, stasiun-stasiun televisi swasta justru dibiarkan menggelar acara-acara kuliner yang bikin ngiler (memancing selera makan) pada siang bulan Ramadhan... Sebagai muslim, kita jangan hanya bisa menuntut orang lain agar menghormati apa yang kita lakukan. Tetapi, pada saat yang sama, kita enggan menghormati kepentingan orang lain. Agar adil atau tawazun (seimbang), kita pun mestinya wajib menghormati orang lain di luar diri kita. Bukankah sikap adil itu, menurut Allah, lebih dekat kepada takwa (QS Al Maidah: 8)? Sementara sikap egois, yang hanya bisa menuntut penghormatan, tetapi pada saat yang sama enggan menghormati pihak lain, merujuk kisah dalam Al Quran, adalah karakter khas setan atau Iblis. Iblis enggan melaksanakan perintah Allah agar menghormati Adam, karena ia merasa lebih baik dan lebih taat. Akan tetapi, sikap ujub (merasa superior) dan enggan menaruh hormat kepada pihak lain itulah yang justru membuat Iblis menjadi makhluk terkutuk. Bahkan, Iblis dan keturunannya, oleh Allah juga ditetapkan menjadi penghuni neraka nan abadi...  [] Jakarta, 29 Agustus 2010.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun