Mohon tunggu...
Willy Teniwut
Willy Teniwut Mohon Tunggu... Dosen - Penulis wannabe penulis

Enjoying the ride

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perhatian Setengah Hati Pemerintah Kepada Papua?

2 Desember 2011   03:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:56 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perhelatan SEA GAMES yang baru saja dilewati secara eksplisit menunjukan beberapa fenomena yang cukup menaik, mulai dari skandal koruspsi yang melibatkan petinggi partai, kontroversi persiapan yang cukup mendebarkan hingga akhir, upacara pembukaan yang spektakuler, Atlit-Atlit Indonesia yang berjaya hingga bisa merebut posisi juara umum yang cdalam beberapa perhelatan SEA GAMES yang lalu gagal direbut. Hal yang cukup menarik perhatian adalah menjulangnya atlit-atlit dari tanah Papua, khusus pada nomor-nomor bergengsi seperti lari 100m putra/putri hingga sepak bola, para atlit dari Papua menjadi idola, dengan latar belakang gejolak pada tanah Papua membuat prestasi dan semangat nasionalisme yang ditunjukan oleh para atlit asal Papua ini sangat berbanding terbalik dengan gejolak yang ada di tanah Papua akhir-akhir ini. Apa yang menyebabkan konflik di Papua sebenarnya?jawaban untuk itu tidak perlu untuk dibahas lagi oleh kita sebagai bangsa, karena penyebab hal tersebut sudah klise dan diketahui umum bahkan oleh rakyat biasa yang mungkin dengan hanya membaca berita di media cetak atau melihat liputan khusus di TV mengenai kondisi di Papua akan dengan sendirinya dapat menarik kesimpulan apa yang "aneh" dengan tanah Papua itu sendiri. Pada perhelatan SEA GAMES kemrin, ada sesuatu hal yang cukup menggilitik, dimana superter Malaysia mengklaim bahwa Indonesia menaturalisasi Pemain asal Negara Papua untuk bermain di timnas Indonesia, hal ini jika dilihat dengan sudut yang lain cukup memprihatinkan juga, karena jelas bahwa pemerintah belum secara luas "mensosialisasikan" ke tetangga setidaknya bahwa di negara Indonesia ada wilayah yang penduduknya berkulit agak gelap dan berbeda dengan sebagian besar penduduk di Indonesia. Semua pihak pasti setuju bahwa masalah utama di Papua adalah masalah Ekonomi dan kesejaterahan. Dengan demikian maka sangat dibutuhkan perhatian yang lebih dan khusus untuk itu, pemerintahan Gus Dur yang pertama kali memberikan perhatian khusus bagi Papua dengan menerapkan otsus di Papua, dimana yang Saya baca dan dengar bahwa, otsus ini bukan belas kasihan dari pemerintahan waktu itu tetapi memang diperjuangkan oleh para aktivis dari Papua ke Presiden Gus Dur,  kemudian ditindaklanjutin oleh Presiden SBY dengan membentuk lembaga UP4B untuk memotori dan mengawal agar proses serta mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat. Akhir-akhir ini setelah gejolak yang datang silih berganti di Papua, mulai dari pembubaran paksa kongres rakyat Papua, hingga yang terbaru perayaan 1 Desember kemarin di Timika, dibeberapa kesempatan pemerintah melalui perwakilannya selalu menyinggung soal uang yang mencapai Rp.20 Triliun lebih yang telah dikucurkan ke Papua selama pemberlakuan otsus ini, yang seakan-akan bahwa pemerintah sudah memberikan apa yang seharusnya diberikan tapi memang rakyat Papua sendiri yang tidka bisa mengelola dengan baik semua itu, karena berdasarkan hasil audit BPK terdapat penyewengan dana otsus hingga Rp. 5 Triliun. Hal ini tentu saja sangat menyedihkan sikap dari pemerintah, yang tentu saja juga akan menggiring opini publik rakyat Indonesia bahwa memang rakyat Papua sendiri yang tidak dapat mengatur diri mereka sendiri, tetapi hal yang tidak disadari oleh pemerintah adalah bahwa otsus merupakan hak dari dari rakyat Papua dan sudah selayaknya didapatkan tetapi dengan membebankan "distorsi" ini pada rakyat Papua merupakan sesuatu yang sangat kerdil jiwa pemimpin yang dimiliki oleh pemimpin di Indonesia ini. Rahasia umum, bahwa start awal pembangunan di Indonesia sangat berbeda antara wilayah tengah ke barat dan timur, wilayah-wilayah seperti NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat sert sebagian wilayah Sulawesi mengalami "late start" dalam pembangunan. Sangat ironis, karena wilayah-wilayah yang terlambat start tersebut memiliki sumber alam yang melimpah dan cukup untuk membangun wilayah mereka sendiri tetapi karena prioritas pembangunan dari pemerintah dar awal hingga sekarang sehingga menyebabkan masih ada gap dalam hal khususnya pendidikan dan kesehatan. Kedua hal ini sangat krusial, karena sangat menyentuh dan signfikan dalam merubah dengan drastis dan konsisten masa depan dari wilayah-wilayah tersebut. Dengan kondisi kurangnya tingkat pendidikan yang ada di wilayah Papua khususnya membuat tentu saja ketersediaan SDM di wilayah tersebut masa ada gap dengan wilayah lain di Indonesia. Hingga awal 2000an, posisi Papua masih cukup tertinggal dengan misalnya Sulawesi Selatan yang merupakan wilayah terdekat dengan Papua dalam hal pendidikan, dengan kondisi ini dengan tanggung jawab besar yang dibebankan oleh pemerintah ke Papua dengan otsus ini memang masih perlu untuk tetap diberikan bantuan dan dampingan, bukan karena kualitas SDM Papua yang kurang tetapi karena kuantitas SDM yang masih sangat kurang ditambah dengan aturan yang masih bisa di "mainkan" pada otsus sendiri maka makin lengkap dan kompleks pemberlakuan otsus ini. Sehingga jika masih terjadi masalah pada pemberlakuan otsus dengan kondisi yang ada merupakan sesuatu yang masih dapat diterima, tetapi apakah hanya otsus yang bisa membuat rakyai Papua merasa aman dan nyaman berdampingan dengan wilayah Indonesia yang lain? Masalah kejaterahan dengan otsus merupakan salah satu jalan untuk mengatasi ini, tetapi apakah satu-satunya?karena jika hanya masalah kesejaterahan maka merupakan suatu hal yang masih lebih "aman" untuk di bereskan dibandingan jika terdapat hal-hal lain seperti gerakan separatis atau rasa kurang nyaman berdampingan dengan warga Indonesia yang lain karena belum merasa bagian dari negara Indonesia. Waktu masih duduk dibangku kuliah, kebetulan ada teman-teman asal Papua yang juga kuliah ditempat Saya kuliah, Saya pribadi dan beberapa teman dekat Saya sangat welcome kepada teman-teman asal Papua, meskipun dengan perawakan yang kekar dan ada yang sudah memiliki kumis tebal dan janggut yang merupakan hal yang cukup aneh karena Kita masih awal-awal kuliah S1, Saya dan teman-teman dekat sangat senang berhubungan dengan mereka, karena secara umum mereka sangat ramah dan lucu jika sudah akrab dan kenal dekat, tetapi ada sebagian teman-teman Saya yang menganggap bahwa merupakn hal yang aneh jika bereman dengan teman-teman asal Papua karena anggapan mereka: Orang Papua, masih kampungan, jahat, suka mabuk, kurang dalam sisi intelejensia dll. Hal ini sangat menyedihkan serta menunjukan bahwa masih ada warga Indonesia yang masih belum menerima saudara-saudara mereka asal Papua, yang paling menyedihkan jika ada pembagian kelompok kerja maka sebagian besar hal pertama yang dilakukan oleh teman-teman kuliah ada menghindari satu kelompok dengan teman-teman asal Papua, sehingga jika "terpaksa" satu kelompok pun maka teman-teman asal Papua akan  kurang dilibatkan atau dilibatkan pun hanya berkaitan dengan kegiatan fisik seperti fotokpi. Kondisi diatas sangat memprihatinkan dan hal itu terjadi bukan hanya dikampus Saya tetapi juga di kampus-kampus lain di tanah Jawa ini dan bayangkan jika hal tersebut terjadi di lingkungan kerja dimana ada teman-teman asal Papua yang juga berkerja dalam satu lingkungan kerja kemudian diperlakukan seperti itu atau bahkan dilingkungan dan kehidupan sehari-hari, yang ada dibenak warga saat melihat orang Papua adalah menghindar dimana hal ini bukan hanya dialami oleh warga Papua saja tetapi juga warga Indonesia yang berasa dari wilayah timur, maka akan sangat wajar jika warga Papua merasa kurang dihargai dan merasa bukan bagian dari wilayah Indonesia. Jika anak sudah tidak dianggap oleh saudara-saudaranya yang lain maka pasti ada perasaan kurang nyaman dan ingin keluar. Contoh ini menunjukan bahwa masalah di Papua selain kesejaterahan adalah "Pengakuan" secara jelas bahwa mereka juga bagian dari Indonesia, bukan hanya di peraturan dan undang-undang tetapi tindakan nyata, pemerintah bisa saja membuat peraturan untuk membantu mengatasi hal ini dengan merotasi pejabat Papua ke seluruh Indonesia agar lambat laun mereka juga akan merasakan bagian dari Indonesia, meskipun tetap membutuhkan waktu. Jadi bagi pemerintah jangan berpolimik dan seakan-akan membebankan kesalahan ke rakyat Papua dengan telah membentuk lembaga UP4B serta otsus yang telah berjalan, yang menurut Saya itu merupakan kewajiban sebagai "orang tua" dan jika ada masalah maka sudah sewajarnya untuk dibantu diatasi bukan melepas tanggung jawab dengan melepaskan opini yang menyesatkan atau memang pemerintah hanya setengah hati dan masih menganggap Papua seperti tindakan yang dilakukan oleh teman-teman Saya pada waktu kuliah dengan anggapan-anggapan negatif itu?dan sorry to say tapi sejauh ini masih demikian kondisi yang ada sekarang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun