Mohon tunggu...
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pembelajar tak kunjung pintar. Percaya bahwa kacamata adalah salah satu alat menutupi kebodohan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memahami Sejarah Perang Shiffin Agar Tak Suka Mengkafirkan

25 Februari 2018   11:00 Diperbarui: 25 Februari 2018   11:28 1392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah dua tahun Imam Ali sah menduduki kursi jabatan sebagai khalifah, Gubernur Damaskus yakni Sayyidina Muawiyah belum puas dengan kepemimpinan Imam Ali. Ia menilai pemilihan khalifah sangatlah tergesa-gesa, dan ia menuntut agar Imam Ali menuntaskan kasus pembunuhan sayyidina Usman atau ia harus bertanggung jawab atas kasus tersebut.

Tak kunjung ada jalan pertengahan, maka peperangan pun terjadi di tahun 657 M. di tepi barat sungai Eufrat. Dengan 5000 pasukan yang dibawa oleh Ali dari Kufah, dan Muawiyah membawa 4000 pasukan, dua sahabat Nabi yang sama disegani dan terhormat itu bentrok memperebutkan kekuasaan.

Ketika pasukan Muawiyah di ambang kekalahan, Amr bin Ash meletakkan Mushaf di ujung tombaknya sebagai tanda peperangan harus dihentikan dan diselesaikan dengan perundingan. Kubu Imam Ali mengutus Abu Musa Al-Asy'ari dan Muawiyah meminta Amr bin Ash.

Perundingan terjadi setelah dua tahun terjadi peperangan. Yakni pada tahun 659 M. di kawasan Ardhuh, jalan utama Madinah -- Damaskus. Perundingan tersebut dihadiri oleh 400 orang. Tidak ada bukti secara faktual-ilmiah tentang hasil dari perundingan tersebut.

Namun, selama dua tahun tersebut Imam Ali memerangi kaum pembelotnya yang kemudian hari disebut sebagai Khawarij. Konon, kaum khawarij ini berjumlah 4000 orang yang dipimpin oleh Abdullah bin Wahb ar-Rasibi. Mereka mengklaim bahwa Ali dan Muawiyah adalah melakukan dosa besar dan kafir, sebab tidak lagi menggunakan Alquran sebagai landasan hukum.

Menurut kaum Khawarij, perundingan yang terjadi di Ardhuh tidak sesuai dengan Alquran dan Hadis, dan atas dasar slogan mereka: La Hukma Illa Allah (tiada hukum kecuali hukum Allah; Alquran Hadis) melihat kelompok merekalah yang paling benar. Sejak saat itu, persoalan perang shiffin dalam pandangan kaum khawarij bergeser menjadi persoalan akidah dengan kesimpulan Imam Ali dan Sayyidina Muawiyah adalah kafir.

Di sela-sela penantian perundingan Shiffin, Imam Ali berkali-kali bentrok dengan kaum Khawarij tersebut, hingga pada puncaknya di hadapan para khawarij, ia memukul-mukul mushaf Alquran seraya mengatakan: Alquran ini bisu, yang bicara adalah yang membacanya (Wa innama yanthiqu bihir rijal).

Namun, kaum khawarij terlanjut bersikap kaku dan ngeyel. Alhasil, Ali tidak bisa sepenuhnya memberangus kaum tersebut.

Abu Hasan Al-Asy'ari pendiri madzhab Asy'ariyah secara tegas dalam kitabnya Maqalatul Islamiyyin mengatakan bahwa "Kasus pertama yang memecah belah umat islam adalah persoalan kepemimpinan (Imamah: Politik)."

Menurut saya kalimat tersebut sangatlah berani. Setidak-tidaknya dapat membantu kita dalam memahami sebuah persoalan ini lebih jernih. Ada dua alasan.

Pertama, jika kita mengangaap bahwa persoalan perang shiffin adalah persoalan agama-akidah, akan meniscayakan penilaian pihak mana yang salah dan pihak mana yang benar. Sedangkan kita tak bisa membenarkan keduanya dengan mencari-cari dalil yang dapat membenarkannya, atau sebaliknya. Kenapa?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun