Malinpun tak bisa berbuat apa-apa. Dia tak mungkin pergi tanpa restu emaknya. Dia tak mau jadi anak durhaka. Dia tak mau dikutuk jadi batu.
Akhirnya Hasan berangkat sendiri. Sejak saat itu Malin tak lagi mendengar kabarnya. Sebenarnya Malin penasaran dengan nasib Hasan. Apakah dia sudah menjadi kaya atau belum.
"Emak..sudah 4 bulan Hasan ke Jakarta, dia sudah banyak duit belum yah?"
"Onde mande Malin, kau pikir cari kerjaan gampang di Jakarta. Bisa makan saja sudah untung dia"
"Tapi katanya di Jakarta enak mak"
"Kalau semua orang ke Jakarta, pusinglah nanti pk Anies nya. Sudahlah kau telateni saja dagangan mu itu"
"Jualan es keliling sehari cuma dapat 50.000, kapan aku bisa kawin"
"Bersyukurlah nanti rejekimu bertambah"
Mau tak mau Malinpun menurut perkataan Emaknya. Setiap hari dia berkeliling menjual es. Berapapun hasilnya diberikan kepada Emaknya.
Malam itu Malin dan Emaknya asyik makan sambil menonton tv. Semua tv memberitakan kolorna yang sedang merajalela. Malinpun akhir-akhir ini cemas memikirkan Hasan.Â
Di pagi hari, Malin berniat pergi ke sawah namun langkahnya terhenti karena pk Hamdan datang ke rumahnya. Betapa kagetnya dia, ternyata pk Hamdan memberi kabar kalau Hasan telah meninggal karena virus kolorna itu.