Mohon tunggu...
Janika Irawan
Janika Irawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

janikairawan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Diary

Jurnal

23 Agustus 2021   16:08 Diperbarui: 23 Agustus 2021   16:13 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEDAYU

Sepeda motor yang kukenakan menggelincir melalui hamparan sawah, ladang jagung, dan sarat akan suasana desa. Orang-orang kota tercengang, "aku merasa hidup, lubang hidungku semacam mengendus-endus semacam anjing mencari bangkai—udara begitu enak dihirup, bising kota tidak terdengar, debur angin begitu enak dirasa pada sekujur tubuh.

Seorang ibu mengibas-ngibaskan sepotong bambu, diujungnya terikat sepotong kain layak bendera. Mulutnya sambil bersuara, haa…his...hus..., dengan teriakan lantang sambil mengibas-ngibas. Pipit-pipit beterbangan. Sialnya, pipit hanya terbang ke sisi lain dari sebidang sawah, seorang ibu meski tampak lelah dan kesal harus tetap mengibar-ngibar sampai situasi terkendali. Entah sampai kapan.

Yang jelas saat matahari sudah hilang dari penglihatan, dan suasana mulai gelap, ia harus pulang. Saat itu pula ia merasa pipit bukanlah hewan malam, ia juga butuh tidur. Besoknya ia melakukan hal yang sama, mengusir pipit, berpanas-panasan dengan teriakan yang sama, haa…his...hus.... Sampai sore. Sampai suara hilang. Sampai waktu panen tiba.

***

Saat saya lewat, tepat pada tikungan, seorang embah-embah mengingat rumput pada karung. Saya lewat sekaligus melirik, rasanya motor ingin segera berhenti dan membantu mengangkat. Tapi saya tidak melakukannya. Ini menjadi salah satu momen yang membuat saya marah pada diri sendiri: kenapa saya tidak memberhentikan motor dan membantu mengangkat sekarung rumput. 

Dalam tangkapan kaca spion seorang kakek menyeberang jalan. Saya ragu mau putar balik dan membantu mengangkat. Ia angkat dengan kedua tangannya dan dipanggulkannya pada paha munuju sepeda diseberang jalan.

Seukuran sedang, karung terisi rumput. Mungkin tidak terlalu berat bagi pemuda seumur dua dekade atau lebih, tapi seorang embah-embah terlihat betapa sepenggal rumput yang menyusahkan. Sekarung sarapan pagi bagi ternak dirumah.

Pada sudut jalan lain, seorang ibu-ibu memotong rumput ditepi jalan. Ia menggunakan arit memotong rumput dengan ganas. Tangan kiri mencengkram, tangan kanan memainkan arit, ia tarik kerah dalam, rumput bagian atas terpisah dari akarnya. Ia kumpulkan dan dimasukkan pada karung.

Diraut mukanya, ia seorang ibu, terlihat sangat iklas, tidak ada raut kesal. Saat saya lewat dan menundukkan kepala ia balas dengan senyum yang sejuk. Saya sangat terhibur dan ikut cair dalam senyum. Tapi "penderitanya," entah apapun bentuknya, tidak dapat disembunyikan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun