Ketahanan pangan di wilayah perkotaan semakin menjadi isu strategis seiring dengan meningkatnya urbanisasi, pertumbuhan penduduk, dan terbatasnya lahan hijau.
Pertumbuhan penduduk yang pesat di wilayah perkotaan membawa konsekuensi terhadap meningkatnya kebutuhan pangan, di tengah keterbatasan lahan produktif dan degradasi lingkungan.Â
Urban agriculture vertikal berbasis komunitas muncul sebagai solusi inovatif dalam membangun sistem pangan yang berkelanjutan.Â
Model ini mengintegrasikan pendekatan teknologi pertanian modern dengan partisipasi aktif masyarakat untuk meningkatkan ketahanan pangan, memperkuat solidaritas sosial, serta mengurangi dampak lingkungan akibat urbanisasi.Â
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara konseptual dan aplikatif bagaimana model urban agriculture vertikal dapat menjadi strategi efektif dalam pembangunan kota yang inklusif dan berkelanjutan.
Urbanisasi yang terus berkembang telah memicu berbagai permasalahan perkotaan, seperti keterbatasan ruang terbuka hijau, ketergantungan terhadap pasokan pangan luar kota, serta meningkatnya jejak karbon akibat distribusi pangan jarak jauh.Â
Ketahanan pangan menjadi isu krusial karena tingginya permintaan terhadap pangan segar, sehat, dan mudah diakses oleh masyarakat urban.
Konsep urban agriculture atau pertanian kota telah menjadi perhatian global sebagai salah satu solusi inovatif dalam menyediakan sumber pangan lokal yang ramah lingkungan.Â
Dalam konteks ini, urban agriculture vertikal atau pertanian vertikal menjadi relevan karena mampu memaksimalkan ruang vertikal di tengah keterbatasan lahan.Â