"Waste to Energy (WTE), sampah jadi sumber energi alternatif"
Di tengah krisis energi dan darurat lingkungan akibat penumpukan sampah, teknologi Waste to Energy (WTE) atau pengolahan sampah menjadi energi muncul sebagai solusi inovatif yang mulai banyak dilirik.Â
Konsep ini bukan sekadar gagasan futuristik, melainkan langkah nyata dalam menjawab dua permasalahan sekaligus: pengelolaan sampah dan kebutuhan energi alternatif yang berkelanjutan.
Indonesia, dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, setiap harinya menghasilkan lebih dari 175 ribu ton sampah. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hanya sekitar 7-10% sampah yang berhasil didaur ulang.Â
Sisanya berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), mencemari tanah, air, dan udara.Â
TPA Bantar Gebang, misalnya, menjadi simbol krisis pengelolaan sampah yang belum tuntas. Dalam kondisi seperti ini, Waste to Energy menjadi harapan baru untuk mengubah tantangan menjadi peluang.
Waste to Energy adalah proses mengubah limbah padat menjadi energi, baik dalam bentuk listrik, panas, atau bahan bakar. Teknologi yang digunakan bisa berupa insinerasi (pembakaran sampah), gasifikasi, pyrolysis, atau metode biologis seperti fermentasi anaerob.Â
Teknologi insinerasi menjadi metode yang paling umum karena mampu mengurangi volume sampah hingga 90% sekaligus menghasilkan listrik yang dapat disalurkan ke jaringan nasional.
Beberapa kota di dunia telah membuktikan efektivitas teknologi ini.Â
Denmark, Swedia, dan Jepang adalah negara-negara yang sukses menerapkan WTE sebagai bagian dari sistem pengelolaan sampah modern.Â
Di Swedia, misalnya, lebih dari 50% sampah rumah tangga diolah menjadi energi. Bahkan negara tersebut mengimpor sampah dari negara lain karena fasilitas WTE mereka sangat efisien dan tidak cukup sampah domestik untuk diolah.
Bagaimana dengan Indonesia?Â