Mohon tunggu...
Jancuk Lu
Jancuk Lu Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa uin

saling belajar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Melihat Pro-Kontra dalam Memahami Budaya dengan Hermeneutika Budaya

8 Juni 2022   10:03 Diperbarui: 8 Juni 2022   10:08 3177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Mungkin kita sudah tak asing mendengar bahwa Indonesia, adalah bangsa yang memiliki beragam tradisi, budaya dan peradaban leluhur yang tak bisa dinilai oleh materi. bahkan tak ayal, bahwa banyak turis-turis manca negara yang mengunjungi Indonesia karena sebab kearifan budaya kita. Kita mungkin pernah mendengar atau membaca, bahwa orang-orang dari negari lain ketika ditanya apakah dia tau Indonesia? Mereka mengatakan; tidak. Tapi ketika kita tanya apakah tau tentang Bali? Mereka mengatakan; "iya". Dari sini kita mungkin bertanya-tanya, mengapa sih mereka lebih mengetahui ketimbang Indonesia? Dari berbagai jawaban, mungkin ada yang begitu jelas, bahwa penduduk sangat memegang tradisi dan budayanya. Sehingga budayanya menjadi nilai jual dan nilai identitas yang begitu melekat. Orang Bali menyadari bahwa leluhurnya menciptakan tradisi dan budaya tersebut memiliki nilai-nilai kearifan falsafah hidup, dengannya masyarakat Bali mampu hidup berselaras dengan semesta, walaupun tak bisa dipungkiri bahwa kesadaran semacam ini tidak semua orang Bali meresapinya.

Leluhur kita yang dengan ketajamanan intelektual dan intuisinya, mampu menciptakan nilai-nilai falsafah yang dapat membawa manusia untuk hidup dalam keparipuranaan, yakni manusia yang selaras dengan semesta. Tetapi ada fenomena dimana memahami tradisi dan budaya hanya sekedar melihat secara diskripsi dangkal (thin discription), tanpa adanya interpretasi mendalam. 

Sebelumnya apasih yang terbesit ketika kita mendengar keris; kembang tujuh rupa; kemenyan; sedekah bumi, dan lain-lainnya? Mungkin banyak dari kita yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah tradisi dan budaya yang memiliki nilai-nilai luhur sehingga harus di lestarikan. Tetapi mungkin banyak juga dari kita yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah kemusyrikan, dan kejumudan (terbelakang), sehingga harus ditinggalkan. Belakangan ini, Pro-kontra semacam itu telah menjadi hal yang hangat-hangatnya di perbincangkan baik di dunia maya ataupun dunia nyata. Kita mungkin pernah menemukan atau bahkan kita yang pelaku, antar kubu pro dan kontra saling mencaci dengan mengatakan, sesat; sumbu pendek, mainnya kurang jauh, atau ilmumu masih cetek.

Ada pengalaman pribadi, di kampung saya, di kebumen. Sangat menjaga tradisi, dan budaya. Seperti ketika malam Jum'at, terkhusus malam Jum'at keliwon, kami meletakkan kembang tujuh rupa dan membakar menyan di dalam rumah. Ada juga ketika hajatan, entah nikahan, ataupun sunatan, kami meletakkan makanan yang ingin di suguhkan untuk para tamu, sekiranya sepiring dua piring dari masing-masing lauk di sebuah ruangan yang kami sebut pesaren. Ada satu waktu dimana kampung kami menjadi tempat untuk KKN (kuliah kerja Nyata) oleh salah satu kampus dari kota. Mungkin mereka asing dengan hal-hal semacam itu, kami pun memakluminya, tapi ada salah satu di antara mereka yang tanpa bertanya, tidak ada angin, tidak ada hujan langsung mengatakan bahwa yan kami lakukan adalah kesesatan, syirik dan harus di tinggalkan. Kejadian semacam ini mungkin bukan hanya dialami oleh satu atau dua kampung, tetapi banyak yang memang hanya untuk bertanya rasanya amat sulit, hanya untuk mencari tau rasanya sulit sekali. Dia lebih suka menggaungkan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran tanpa melihat kebenaran dari pihak lain.

Disinilah ada semacam pentingnya bersikap terbuka, bahwa segala sesuatu memiliki makna, yang mungkin makna tersebut 180 derajat berbeda dari makna yang kita yakini. Karena makna di ciptakan oleh manusia yang bersifat fleksibel maka maknanpun demikian, fleksibel juga. Dalam hermeneutika, untuk memahami sebuah budaya kita bukan hanya sekedar thin discription (deskripsi dangkal), yakni melihat dari yang nampak saja, bahkan hanya dari sudut pandang sendiri. Tetapi kita harus Thick discription ( diskripsi mendalam) akan sebuah budaya, yakni kesadaran bahwa dalam budaya ada simbol-simbol atau tanda tanda-tanda yang harus kita amati. Jadi untuk memahami suatu budaya atau tradisi, sekiranya kita perlu bertanya kepada pelaku budaya dan tradisi tersebut. Terlepas kita telah memiliki makna dari paradigma kita atau belum. Karena merekalah yang mengetahui makna dari simbol-simbol budaya tersebut. 

Kembali ke cerita diatas tadi, seharusnya mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) tersebut, menyedari bahwa tradisi atau budaya yang ada di kampung itu, memiliki simbol-simbol tertentu, dan sembol itu hanya di ketahui oleh pelaku yang menjalankan budaya tersebut. Di kampung kami, kebumen. Mengapa setiap malem Jumat terkhusus malam Jum'at keliwon meletakkan kembang di depan rumah dan dalam rumah, bahkan membakar kemenyan. Karna kami sedang menghormati hari mulia dalam seminggu yakni hari jumaat, dan juga kami mengikuti anjuran kanjeng Nabi Muhammad yang memerintahkan agar membakar wewangian di dalam rumah, kran malaikat suka dengan wewangian. Sebenarnya makanannya seperti itu, bukan tentang kesyirikan. Mereka boleh menganggap kami sebagai syirik dalam tanda kutip, bahwa anda bertanya maknanya dan kami menjawab bahwa makna melakukan itu adalah menyembah pada setan. Atas dasar itupun mereka blm bisa mengatakan bahwa kami syirik selanjutnya mereka harus bertanya dulu agama kami apa? Jika kamu jawab Islam. Ya baru boleh mengatakan: "dalam agama Islam menyembah setan itu perbuatan menyekutukan Allah atau syirik dan harus ditinggalkan. Maka tradisi-tradisi seperti ini harus ditinggalkan."

Kampung kami adalah kampung yang masih terbilang kuat menjadi budaya-budaya yang memiliki nilai filosofis mendalam. Seperti ketika ada acara syukuran yang mana di situ ada tumpeng; kembang; kemenyan; dan hasil-hasil bumi lainnya. sebelum memulai acara syukuran, pastinya ada seorang tetua di kampung yang melakukan ritual ngujudi (menjelaskan makna-makna hidup filosofis dari semua yang ada itu). Dia menjelaskan bahwa tumpeng sebagai lambang dari gunung, yang makananya kita harus menjadi gunung yang melebar dan terus mengerucut ke atas. Maksudnya adalah mengayomi semesta seperti ada ayam, ikan, tetumbuhan dan lain-lain. Tetapi kita juga harus tetap lancip keatas yang bermakna bahwa kedekatan kita harus tajam dengan Tuhan. Dan dalam agama disebut Hablum min annas (hubungan kepada manusia atau semesta) dan Hablum min Allah (hubungan kepada Allah). 

Sebenarnya baik yang mengatakan sesat ataupun tidak sesat itu pasti mempunyai dasarnya. Disini bukan tentang siapa yang paling benar, tapi tentang siapa yang mau membuka diri untuk memahami bahwa makna itu beragam, dan tidak bisa di paksakan, maka tidak perlu saling menyalahkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun