Mohon tunggu...
HERRY SETIAWAN
HERRY SETIAWAN Mohon Tunggu... Konsultan - Creative Coach

membantu menemukan cara-cara kreatif untuk keluar dari kebuntuan masalah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengharapan: Menolak Secara Radikal Segala yang Mustahil

8 Januari 2022   12:13 Diperbarui: 8 Januari 2022   12:24 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Katanya jika kita hidup dan sama sekali tidak ada pengharapan, sebenarnya kita sudah mati - hanya seonggok daging yang berjalan saja.

Ada yang setuju dengan pendapat itu, tetapi tidak sedikit juga yang menentang, bahkan untuk yang mengambil posisi menentang - peryataan itu terlalu lebay.

Saya juga tidak tahu, apakah pengharapan itu diperlukan dalam setiap kita melangkah dalam hidup ini, karena saya juga pernah bertemu dengan orang yang hidupnya biasa-biasa saja - maksudnya tenang dan tidak gelisah, tetapi mereka hidup tidak dengan pengharapan dalam menjalaninya.

Ilustrasi berupa cerita berikut ini mungkin bisa memberikan potongan gambar sedikit seberapa penting kehadiran pengharapan itu dibutuhkan dalam hidup.

Pada suatu hari, dikisahkan ada sebuah keluarga yang sangat sederhana - seorang bapak, ibu dan anak kecil berumur 7 tahun.

Keluarga ini menghidupi kehidupannya dengan berjualan tempe. Sang bapak setiap hari membuat tempe dan isterinya yang menjajakan tempe itu dipinggir pasar - kenapa dipinggir dan bukan didalam pasar?, karena ia tak sanggup membayar iuran didalam pasar jika berdagang disana. Inilah gambaran betapa sederhananya kehidupan keluarga ini.

Seperti biasa, rutin harian - isteri pagi-pagi akan mempersiapkan dagangan tempenya untuk dibawa kepasar.

Ketika ia membuka tutup wadah tempat meletakkan tempe yang akan dibawa kepasar, wajah terkejut menyeruak dibalik muka yang tak terawat itu.

Ia kaget karena tempe yang dibuat oleh suaminya tidak jadi, atau tidak mateng. Alias tidak bisa dijual.

Tetapi karena ia orang yang sangat percaya bahwa hidupnya sudah diatur oleh Tuhan, maka ditutupnya lagi wadah tempe itu, dan dengan suara lirih ia berkata. Aku percaya Tuhan, tempe ini akan matang setiba aku dipasar dan bisa aku jual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun