Pajak karbon merupakan salah satu kebijakan penting yang digagas oleh pemerintah Indonesia untuk mengurangi jumlah emisi karbon dan mempercepat transisi menuju ekonomi hijau. Kebijakan ini sudah disahkan oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) oleh DPR RI. Namun, Â kebijakan yang direncanakan berlaku mulai April 2022 ini, diundur penerapannya hingga 2025.Â
Lantas, keputusan pemerintah untuk menunda penerapan pajak karbon ini menimbulkan banyak pertanyaan, apakah karena faktor seperti kesiapan infrastruktur dan dampak dari penerapannya terhadap ekonomi? atau hanya dalih pemerintah, karena adanya penolakan dari beberapa pelaku usaha? berikut beberapa alasan yang masuk akal alasan dari penundaan pajak karbon
Faktor Utama Penundaan Pajak Karbon
1. Ketergantungan Tinggi Indonesia pada Energi Fosil
Indonesia merupakan negara yang masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas alam, sebagai penyumbang utama emisi karbon. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), Penggunaan bahan bakar fosil masih mendominasi konsumsi energi di sektor Industri di Indonesia, dengan batubara menyumbang lebih dari setengah permintaan pada tahun 2022.
Peralihan ke energi terbarukan pastinya memakan waktu dan juga membutuhkan investasi yang tidak sedikit jumlahnya. Pemerintah harus mengurangi ketergantungan ini tanpa mengganggu stabilitas pasokan energi nasional, yang pastinya bukan hal mudah untuk pemerintah. Sektor industri dan transportasi di Indonesia menjadi konsumen energi terbesar yang menunjukkan ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil yang masih tinggi.
2. Adanya penolakan dari sektor perindustrian
Banyak sektor industri menilai pajak karbon akan menaikkan biaya produksi secara signifikan dan mengurangi daya saing produk mereka di pasar global. Industri padat energi, seperti manufaktur dan pengolahan bahan baku, menjadi kelompok yang paling menolak kebijakan ini, karena mereka khawatir kebijakan ini justru akan melemahkan kontribusi sektor mereka terhadap pertumbuhan ekonomi.
Menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Arsjad Rasjid, pengenaan pajak karbon akan mendorong kenaikan biaya produksi, memperlemah daya saing sektor industri yang akan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kestabilan perekonomian Indonesia. Salah satu Industri Industri yang terdampak langsung adalah industri keramik.Â
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto juga menyampaikan penolakannya terhadap kebijakan pajak karbon karena penerapan pajak karbon akan menjadi ancaman langsung terhadap daya saing industri keramik. Ia juga meyakini akan adanya kenaikan biaya produksi akibat penerapan pajak karbon yang akan memberikan efek domino terhadap konsumen akhir dengan harga jual keramik yang lebih mahal. Jadi, adanya kenaikan biaya produksi akibat penerapan pajak karbon berpotensi mengganggu kestabilan ekonomi Indonesia, mengingat efek domino yang akan dirasakan hingga pada harga jual produk di tingkat konsumen.
3. Infrastruktur dan Sistem yang Belum Siap