Mohon tunggu...
Jalan Raga
Jalan Raga Mohon Tunggu... Petani - Human Being

Sejauh apapun pergi, pada rumah kita kan kembali.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

3 Kunci Utama Pembuka Pintu Bahagia

15 Mei 2016   07:51 Diperbarui: 15 Mei 2016   15:23 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: fineartamerica.com

"Alam semesta dan segala isinya akan sangat mampu untuk memenuhi segala kebutuhan manusia, tapi tidak dengan keinginannya". (Nahkoda Raga)

Jiwa yang baik akan senantiasa menjadi tuan rumah bagi raganya. Ia tidak terpengaruh oleh labilnya perubahan lingkungan. Secara sadar ia mampu mengendalikan diri untuk bersabar, bersyukur dan ikhlas, serta tetap yakin bahwa rencana Yang Maha Perencana adalah yang terbaik bagi dirinya.

Kadang kita tidak mampu menguasai diri, kalah oleh perubahan lingkungan yang begitu cepat dan tiba-tiba. Kita tanpa sadar dikendalikan the others (sesuatu di luar kendali diri sendiri). Ketidakmampuan mengendalikan diri membuat kita menjadi pribadi yang ketika sadar hanya akan menyisakan penyesalan atau rasa malu atas keputusan yang diperbuat.

Sebagai salah satu contoh sederhana, pernahkah Anda ditabrak oleh pengendara lain saat sedang mengemudi? Kemudian apa respons Anda? Bagi yang mampu mengendalikan diri atas situasi tersebut, ia akan tersenyum. Jika pun ada yang harus diselesaikan, ia akan menyelesaikan dengan sangat tenang seraya menjaga diri dari pengaruh the others.

Namun, bagi yang tidak mampu mengendalikan diri, ia akan memaki habis-habisan pengendara yang menabraknya itu. Segala cacian, makian, perilaku kasar, dan kata-kata tidak pantas akan keluar seperti banjir bandang yang menggulung. Jadilah orang tersebut budak dari ketidakmampuannya mengendalikan diri. Beruntung jika si pengendara yang menabrak mampu mengendalikan diri atas kata dan perilaku buruk kita. Namun, apa yang akan terjadi jika si pengendara yang menabrak ternyata tidak mampu mengendalikan dirinya? Tak pelak bukan hanya kicauan adu mulut yang bersahut-sahutan, namun juga TKP (Tempat Kejadian Perkara) tersebut seketika itu pun akan berubah menjadi arena terbuka ruang tinju kelas berat.

Contoh lainnya adalah sepasang suami-istri yang sudah menikah hampir 3 tahun dan telah dikarunia 2 orang anak namun berujung perceraian. Saat itu, sang suami tengah dirundung masalah pekerjaan yang tak kunjung diperolehnya, masalah yang selalu menggelayuti pikirannya. Ia sangat berharap istrinya bisa mengerti bahwa ia ingin sekali dianggap sebagai kepala keluarga dan meminta sang istri untuk tidak perlu bekerja serta fokus mengurus rumah dan kedua anaknya, sedangkan sang istri adalah seorang wanita karier yang sibuk dengan aktivitas kantornya, dikenal pintar karena selama duduk di bangku kuliah selain mahasiswi berprestasi. Sang istri juga adalah seorang aktivis yang jago berdebat.

Kekesalan sang suami pecah, yang ini bermula dari persoalan sepele saat mereka sedang pergi berbelanja ke pasar. Sang istri lupa meletakkan di mana karcis parkir kendaraan mereka. Jadilah sang suami harus mengeluarkan STNK dan membayar uang denda sebesar Rp30.000,-. Sang suami terus memarahi sang istri yang dianggap pelupa. Sang istri pun tidak mau kalah, ia membalas dengan ketus dan menganggap suaminya tidak pernah becus dalam hal apa pun. Di sepanjang jalan mereka terus berdebat sampai semua pengendara lain seakan sedang disuguhi konser akbar pertunjukan musik rock metal garis keras. “Turunin aku di sini. Kalau ngga, aku bakal lompat,” pinta sang istri dengan berteriak dan mengancam. “Kalau kamu terus ngotot, kita cerai,” tantang sang suami dengan nada tinggi. “Oke, kita cerai,” jawab sang istri. Pasangan suami-istri yang sama-sama tidak mampu mengendalikan diri itu pun akhirnya bercerai dengan mengorbankan kedua anak mereka yang masih kecil.

Begitu banyak contoh persoalan pengendalian diri. Ia lekat dengan kehidupan kita. Apa sebetulnya yang menjadi faktor utama seseorang menjadi tidak terkendali? Sehingga dikalahkan dan diperbudak oleh ego serta hawa nafsunya? Padahal, setelah emosi itu meledak bahkan membakar, yang tersisa hanyalah perasaan menyesal dan bersalah setelahnya.

Seperti yang terdapat di paragraf awal, bahwa jiwa yang baik akan senantiasa menjadi tuan rumah bagi raganya. Ia tidak terpengaruh oleh labilnya perubahan lingkungan. Secara sadar ia mampu mengendalikan diri untuk bersabar, bersyukur, dan tetap yakin bahwa rencana Yang Maha Perencana adalah yang terbaik bagi dirinya.

Bersyukur jika tersadar, sekalipun nasi sudah menjadi bubur. Beruntung jika jiwa yang tersadar menyandarkan dirinya pada kuasa hati, ia akan sejenak menepi di tempat yang hanya ada dia dan dirinya sendiri. Artinya, jiwa itu masih mendapatkan petunjuk dari Yang Maha Memberikan Petunjuk yang bersemayam di dalam dirinya. Namun, tidak jarang ketidakmampuan mengendalikan diri semakin melebar dan meluas pengaruh buruknya sehingga seseorang yang tidak terkendali akan mencari jalan ketenangan dengan berbagai hal yang hanya akan semakin merusak dirinya, seperti mabuk-mabukan dan konsumsi narkoba.

Seseorang yang masih mendapatkan petunjuk dari Allah SWT akan menarik napas panjang sembari mengoreksi semua khilaf dan kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia akan dengan sangat dalam berdialog dengan dirinya sendiri, dialog antara seorang makhluk dengan Sang Pencipta. Tanpa sadar air matanya menetes keluar menjadi tanda penyesalan seutuhnya. Ia akan kembali menguatkan keyakinan untuk tidak berputus asa dari kebaikan dan rahmat yang akan datang kemudian.

Banyak cara Allah menyadarkan jiwa baik itu. Dan percaya atau tidak, Allah tidak memberi apa yang kita inginkan, namun memberi apa yang kita butuhkan. Kita meminta diberi setangkai bunga mawar yang cantik nan indah, namun Dia memberikan kaktus berduri yang tajam. Kita meminta rezeki, Dia memberikan masalah untuk diselesaikan. Kita meminta kemudahan, Dia memberi kita rintangan untuk dihadapi dan lain sebagainya.

Semua kembali pada kemampuan kita secara sadar untuk bersyukur atas apa pun yang Dia berikan karena apa yang menurut kita baik, belum tentu menurut Allah baik, Allah Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi kita.

Dengan melihat contoh sepasang suami-istri yang terlibat dalam percekcokan di atas, kita dapat mengambil pelajaran berharga jika saja sang suami bersabar dan bersyukur atas anugerah istri yang diberikan Allah dengan segala kekurangannya, maka sebab perceraian tidak akan terjadi. Begitu pun sebaliknya. Jika saja sang istri mau untuk berdialog melalui hati dengan suaminya, segala masalah akan dapat terselesaikan dengan baik. Jika saja mereka sama-sama melihat sesuatu hal yang tidak disukai dari sudut pandang kesyukuran, bahwa sebetulnya ketidaksukaan mereka satu sama lain adalah cara Allah untuk membuat mereka terus-menerus memperbaiki diri dan sifat buruknya, mereka akan mampu menjaga diri mereka masing-masing dan menjaga keutuhan rumah tangganya.

Jiwa baik yang penuh keyakinan kepada Allah akan menguatkan dirinya untuk bersabar, bersyukur, dan ikhlas sekalipun diliputi oleh rumitnya masalah. Namun, jiwa-jiwa sombong dan tidak bersyukur akan larut oleh kendali gelombang kehidupan dengan segudang masalah di dalamnya seraya berteriak didalam batin, “Kenapa ini terjadi?”, “Tuhan tidak pernah adil kepadaku!”

Ia hanyut pada kuasa akal dan disesatkan oleh jalan berpikirnya sendiri, ia menjadi budak atas the others. Hati serta pikirannya terbelenggu, jauh dari perasaan bebas dan merdeka. Ia selalu berpikir bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan, setiap upaya harus berbuah manis seperti harapan serta keinginannya.

Allah SWT berfirman dalam QS. Asy-Syams ayat 7-10. “Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.

Bagi orang-orang yang berpikir, ayat Allah ini adalah sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat kejiwaan. Jiwa manusia tidak Allah ciptakan dengan sempurna, tapi dengan seluruh penyempurnaannya, yang tingkat kesempurnaannya itu tergantung dari seberapa dalam manusia mampu mengenali potensi fitrah jiwanya. Jiwa manusia memiliki dua fitrah dasar, yaitu fitrah fasik (buruk) dan fitrah takwa (baik). Itulah yang membedakan manusia dengan malaikat dan iblis. Allah menciptakan malaikat dengan hanya memiliki fitrah baik. Dengan fitrah baiknya, malaikat mustahil melakukan hal-hal buruk, sedangkan Allah menciptakan iblis dengan hanya memiliki fitrah buruk. Dengan fitrah buruknya, iblis mustahil melakukan hal-hal baik.

Dengan kata lain, di dalam diri manusia terdapat potensi malaikat dan potensi iblis, tinggal bagaimana kita mengenali betul potensi tersebut, kemudian mengendalikannya dan memilih jalan baik bagi diri, keluarga dan orang lain untuk menuju keselamatan atau kesengsaraan hidup.

Perumpamaan sederhana terkait dengan potensi ini adalah seperti tabung gas 3 kilogram yang biasa dipakai untuk keperluan memasak. Tabung gas memiliki potensi meledak dan membahayakan keselamatan penggunanya, namun juga memiliki potensi bermanfaat untuk memasak berbagai macam menu masakan. Kita tinggal mengenali potensi gas yang bisa meledak itu karena apa? Bisa karena tabung gas yang bocor, pemasangan regulator yang tidak pas, kebocoran selang gas, atau karena kita tidak mengikuti “petunjuk dan aturan” penggunaannya. Artinya, secara sederhana keteraturan memahami, mengenali potensi serta mengikuti petunjuk itu yang membuat kita bisa mengendalikan kemungkinan baik dan buruk yang akan terjadi. Itulah perumpaan sederhana mengenai potensi baik dan buruk jiwa manusia.

Pada dasarnya petunjuk untuk memaksimalkan potensi agar bisa teratur dan bermanfaat sudah jelas tertera. Dalam sebuah hadis qudsi Rasulullah SAW bersabda,“Hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu, dan aku ridho kepadamu, Islam sebagai agamamu.” Kenali agama kita dengan baik, dalami agama kita dengan seksama, maksimalkan hati kita untuk terus menggali betapa sempurnanya aturan agama Islam yang membawa pada rahmat bagi diri, orang lain dan alam semesta.

Sungguh betapa agama menjadi satu-satunya cara bagi manusia untuk semakin mengenal hakikat dirinya dan hakikat Tuhannya.

Maka tetaplah dalam “Kesabaran, Kesyukuran dan Keikhlasan”, karena 3 kata tersebut adalah kunci pembuka pintu kebahagiaan hidup di dunia juga di akhirat.

Maha besar Allah dengan segala kuasa-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun