Mohon tunggu...
Franko Sitanggang
Franko Sitanggang Mohon Tunggu... -

Mantan Wakil Ketua RT

Selanjutnya

Tutup

Politik

Brunei Larang Perayaan Natal, Umat Kristen Terkungkung

26 Desember 2015   03:52 Diperbarui: 26 Desember 2015   04:10 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di Brunei, negara tetangga yang letaknya di pulau Kalimantan, mengeluarkan aturan beberapa waktu lalu, yakni melarang perayaan Natal di muka umum termasuk menyebarkan agama lain dan menyebarkan simbol-simbol agama lain selain agama islam. Pelanggaran aturan tersebut akan diancam hukuman penjara selama lima tahun atau denda sebesar 20 ribu dollar Brunei atau sekitar Rp. 190,5 juta.

Seperti yang diberitakan oleh International Bussines Times dan dilansir oleh Suara.com (baca di sini), Pemerintah Brunei Darussalam telah secara resmi melarang perayaan Natal di ruang publik. Penganut agama lain selain agama Islam, boleh menjalankan agamanya atau merayakan hari besar agama mereka, tetapi dengan syarat bahwa perayaan itu tidak terbuka dan dipamerkan kepada umat muslim.

Aturan pelarangan itu diberlakukan sebagai konsekuensi dari penetapan Syariat Islam sebagai hukum nasional di negara itu sejak April 2014 lalu. Alasan pemerintah Brunei melarang perayaan Natal itu adalah kekhawatiran umat Muslim yang merupakan mayoritas di Kerajaan itu akan menjadi ‘sesat’ karena mengikuti perayaan Natal, haris besar dalam agama Kristen.

Alasan melarang perayaan Natal.

Saya ingin menyoroti alasan ‘sesat’ yang dipakai oleh pemerintah Brunei dalam pelarangan Natal. Dalam kata akan ‘sesat’ terkandung makna bahwa agama yang telah dianut oleh rakyat Brunei selama ini belum kuat, belum berakar, mudah dipengaruhi, dangkal, mudah diombang-ambingkan sehingga bila rakyat melihat apalagi mengikuti perayaan Natal, maka mereka akan ‘sesat’.
Hal selanjutnya yang dicermati dari kata akan ‘sesat’ itu adalah mengindikasikan bahwa dalam perayaan Natal itu ada hal yang sesat, jahat, tidak benar, menjerumuskan, mengacaukan, membawa kehancuran, perselisihan, perseteruan, dan seterusnya. Logikanya jika rakyat Brunei melihat perayaan Natal itu, maka mereka akan ikut jahat, terjerumus, kacau, hancur, bertengkar, dan seterusnya. Benarkah dalam perayaan Natal itu ada hal semacam itu?

Sepanjang pengetahuan saya, perayaan Natal yang dirayakan oleh orang Kristen itu adalah perayaan kelahiran Yesus Kristus, Isa Almasih, yang ‘disepakati’ setiap 25 Desember. Kata ‘disepakati’ karena tidak ada seorang pun yang tahu tanggal dan jam kelahiran Yesus. Namun esensinya bukanlah tanggal atau jam kelahiran itu. Tetapi lebih pada perayaan kelahiran Yesus sebagai pusat agama Kristen baik Protestan maupun Katolik.

Perayaan kelahiran identik dengan perayaan kegembiraan, keceriaan, kebahagiaan, kerinduan akan keadilan. Perayaan kelahiran apalagi perayaan kelahiran Yesus, bermakna sebagai perayaan akan munculnya kedamaian, keselarasan, keharmonisan, toleransi, saling berbagi, saling menolong dan bergandeng tengan untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik. Maka jika sebuah pemerintahan melarang perayaan kegembiraan ini dengan segala embel-embelnya, maka ada rasa miris, ada kata ‘tidak tepat’, ‘tidak logis’ di sana.

Ujian Sebuh Agama

Dalam logika saya, sebuah agama yang dianut oleh siapapun, kuat dan bisa dipegang sampai mati, bila agama itu telah teruji, mampu menjawab tantangan rohani penganutnya dan tidak tergoyahkan bila menemui cobaan, terpaan atau rayuan dari ajaran agama lain.

Katakanlah pemerintah Brunei berhasil membuat warganya tidak melihat perayaan Natal atau ikut merayakan Natal sekian puluh tahun. Apa keuntungan puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang dipetik dari kebijakan itu? Apakah usaha pemerintah Brunei mensterilkan rakyatnya dari perayaan Natal berhasil?

Dalam dunia digital, era internet, google, youtube, dan seterusnya, larangan itu pemerintah Brunei itu terasa miris. Tuhan telah menanamkan dalam otak manusia ‘rasa penasaran’. Semakin dilarang, semakin penasaran untuk melihatnya. Bila sebuah larangan akan sesuatu, tidak cukup valid, reliable, dan kuat, logis, maka setiap orang penasaran untuk melihat rahasianya. Apalagi di zaman ini, setiap informasi dapat diakses oleh siapapun. Perayaan Natal orang Kristen tentus sangat mudah diakses di Youtube, Google dan jejaring sosial lainnya. Lalu mampukah pemerintah Brunei mensterilkan rakyatnya dari internet?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun