Kuda gagah itu membedal kencang membelah angin. Suara ladam kakinya beradu dengan jalanan yang berbatu.
Kencang berlari menyisakan debu yang bergulung terbang ke angkasa. Senja semula hening karena gelap rembang malam akan turun segera.
Namun suara kaki kuda dan teriakkan penunggangnya, memaksa kuda yang telah capai terus berlari.
Penunggangnya adalah lelaki kurus berwajah kuning dengan mimik ketakutan. Pakaiannya putih serba longgar terbang ditiup angin.
" Hiaaa... Hiaaaa... Iiieeeh... !" ia hela lari kuda dengan suaranya yang sudah serak, hampir hilang. Mendengar teriakkan dan jepitan sepasang kaki penunggangya, kuda berwarna coklat itu meringkik dan berlari lebih cepat. Terus berlari dengan kesetanan, membawa penunggangnya terpental-pental di atas pelana.Â
Muka yang kuning kini pias. Ternyata di sudut bibirnya yang terkatup, mengalir tetesan darah yang keluar dari luka dalam yang diderita. ia nekat mencongklak kuda karena berusaha menyelamatkan seorang bocah laki-laki kecil montok yang ia dekap di dadanya. Wajahnya yang putih lucu terpecik darah penyelamatnya.
Lelaki berwajah putih dan tengah terluka itu bernama Sapar pembantu kepercayaan Raden Birawa. Dengan sekuat tenaga berusaha menyelamatkan sisa keluarga junjungannya si bocah montok itu yang bernama Aji Panjalu.Â
Ki Sapar wajahnya semakin pucat, lukanya semakin parah. Namun ketika ia sudah mulai lemah, terdengar derap tiga pasang kaki kuda mengejarnya dari belakang, semangatnya bangkit kembali, ia bertekad jangan sampai tertangkap.
Andaikata tertangkap maka sia-sialah semua yang dilakukannya.
Empat ekor kuda, satu di depan dan tiga di belakang terus saling mengejar semakin dekat. Wajah para pengejar nampak beringas dan menyeramkan. Tiga orang pembunuh bayaran yang mendapat tugas untuk melenyapkan semua yang bernyawa di rumah kediaman Raden Birawa, terus membuntuti sambil mengacung-acungkan senjatanya yang berkeredep tertimpa sinar mentari senja yang mucul dari balik dedaunan di hutan Jati yang berada di pinggir jurang.
Dua tiga tombak pengejarnya berhasil mempersempit jarak. Dengus suara kuda, teriakkan penunggangnya dan derap kaki yang menghantam jalan berdebu itu, membuat kuduk ki Sapar merinding dan keringat dingin sebesar jagung muncul di kuduk dan keningnya. Apalagi ketika ada bayangan hitam berkelebat dari salah satu pengejarnya membentak dan mencoba merebut bocah yang ada di dekapannya sambil mengibaskan tangan kirinya yang bercahaya dan melontarkan segulung tenaga dalam yang menghajar telak tengkuknya. Segumpal darah terloncat dari mulutnya, tubuhnya tersentak menahan sakit.Â