Ini kembali pada pertanyaan di atas: mengapa MK menyidangkan kembali perkara gugatan terkait sistem pemilu yang pernah diputuskan sebelumnya? Mungkin tidak akan muncul kontroversi baru jika MK memutuskan untuk menolak gugatan tersebut.
Artinya, Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional terbuka, sama seperti Pemilu 2009, 2014 dan 2019. Namun, bagaimana jika MK mengabulkannya, memutuskan sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Bukankah itu akan memunculkan preseden buruk, merusak legitimasi hukum dari keputusan sebelumnya.
Sebagaimana dipaparkan sebelumnnya, perdebatan tentang sistem proporsional terbuka dan tertutup saat ini tidak hanya terbatas di kalangan anggota dewan. Akan tetapi sudah merembet ke akademisi.
Mayoritas anggota dewan menyesalkan langkah MK yang menyidangkan kembali perkara gugatan sistem pemilu legislatif itu, terbukti 8 dari 9 fraksi di DPR menyetujui mempertahankan sistem proporsional terbuka, demikian juga dengan para akademisi. Walau terbelah, sebagian besar berpendapat sistem proporsional terbuka harus dipertahankan.
Para akademisi menyebut ada dua pertimbangan mengapa sistem proporsional terbuka harus dipertahankan. Pertama, sistem proporsional terbuka lebih mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat. Keterpilihan caleg tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik apalagi pimpinan parpol.
Kedua, sistem proporsional terbuka merupakan sistem yang lebih demokratis. Juga 'setia' menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Jadi, tidak ada alasan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup. Sistem proporsional terbuka lebih 'memuliakan' daulat rakyat dibanding sistem proporsional tertutup.
Oleh karena itu, merespon gugatan yang segera disidangkan, jajaran Hakim Konstituti wajib berhati-hati dalam memutus perkara pengujian UU Pemilu ini. MK benar-benar harus memiliki komitmen sebagai lembaga tertinggi penjaga konstitusi (guardians of the constitution) sekaligus pengawal demokrasi (the guardians of democracy)...