Mohon tunggu...
Jafar G Bua
Jafar G Bua Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Photo Journalist CNN Indonesia, salah satu stasiun televisi yang menjadi bagian dari CT Corp dan CNN International. Saat ini bekerja dan berdomisili di Pulau Sulawesi, namun ingin berkelana ke seluruh pelosok Nusantara Jaya. Semua tulisan di microsite ini dapat dikutip sepanjang menyebutkan sumbernya, sebab ini semua adalah karya cipta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Santoso Menebar Teror: Dari Gunung Biru ke Lembah Napu

6 April 2016   16:30 Diperbarui: 8 April 2016   11:10 1227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.



Santoso alias Abu Wardah menjadi orang yang paling diburu oleh aparat Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia selama kurun waktu 2011-2016 ini. Ia didaulat oleh kelompoknya menjadi pemimpin Mujahiddin Indonesia Timur yang kemudian berafiliasi ke ISIS--Islamic State of Iraq and Syria. Selama lima tahun terakhir ini, ia dan kelompoknya menebar teror.

KEPALA Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Rudy Sufahriadi dalam pelbagai kesempatan pada media mengatakan: "Santoso itu tidak kuat. ia cuma beruntung saja." Benarkah? Bisa jadi! Tapi mengapa sampai hari ini dengan pelibatan ribuan aparat keamanan dari pelbagai kesatuan TNI dan Kepolisian, Santoso dan kelompoknya tak jua bisa diberangus.

Saya, tentu juga Anda semua pasti takjub pada sosok ini. Seberapa kuatkah dia?! Seberapa hebatkah kemampuan tempurnya sampai-sampai lebih dari 3000 ribu pasukan elit dari semua kesatuan dikerahkan untuk mengejarnya?! Saya kemudian menelusuri latar belakangnya. Sepotong cerita awal pun saya dapatkan dari Andi Baso Thahir, salah seorang yang benar-benar mengenal sosok Santoso sejak amuk sosial mengharubiru Poso pada 1998-2000 silam.

"Santoso itu baik. Orangnya cenderung pendiam. Tidak pernah kelihatan marah. Tapi ia keras hati. Suatu waktu ketika ia mulai mencoba pelatihan asykari, saya meminta dia menghentikanya. Dia menuruti. Namun di kemudian hari dia ternyata kembali melatih anak-anak untuk bertempur," sebut Ateng--sapaan akrab Andi Baso Thahir.

Ustadz Adnan Arsal, tokoh agama, pimpinan Pondok Pesantren Amanah di Kelurahan Gebangredjo, Poso kepada saya dan kawan-kawan dari CNN Indonesia, Miftah Faridl dan Anindita Pradana bilang ia mengenal Santoso dengan baik.

"Bila kami memberi tauziah, nasehat-nasehat agama, ia lebih banyak mendengarkan. Lebih banyak diam. Jarang menanggapi. Anaknya cenderung diam. Tapi kemudian hari ia menjadi momok yang mesti diburu oleh ribuan aparat, itu juga menjadi pertanyaan saya," aku Adnan.

"Santoso dulu anak buah saya. Saya tahu kemampuannya. Saya tahu siapa dia," imbuh Hasanuddin, anak mantu Ustadz Adnan yang sesama bekas petempur di Poso. Hasanuddin baru saja bebas dari bui karena didakwah terlibat dalam aksi terorisme di
Poso.

Dari penelusuran saya, jejak Santoso bermula dari Gunung Biru, Tamanjeka, Poso Pesisir Utara, Poso. Di lahan seluas lebih dari 34 ribu hektare itu ia melakukan tadrib, latihan militer untuk memperkuat asykari-nya. Sayap militer kelompok Mujahiddin Indonesia Timur inilah yang kemudian menjadi alat penebar teror kelompok Santoso. Mereka menjelma menjadi kelompok sipil bersenjata yang menebarkan ketakutan. Jejak awal Santoso bisa pula ditelusuri dari Tokorondo lalu Tambarana dan Masani di Poso Pesisir. Namun saat itu Santoso masihlah anggota majelis yang tekun mendengarkan tauziah, petuah-petuah agama. Tidak ada tanda-tanda ia akan melakukan amaliyah, praktik pengamalan jihad dengan cara seperti saat ini.

Terorisme di Poso tak bisa pula dilepas dari rangkaian amuk sosial selama kurun waktu 1998-2000. Puluhan ribu orang meregang nyawa. Ratusan ribu rumah dan pemukiman luluh lantak. Ratusan ribu pengungsi terpaksa tinggal di barak-barak dan menyelamatkan diri di wilayah Sulawesi Tengah bahkan ke Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Pranata ekonomi dan sosial juga budaya benar-benar hancur lebur. Tak mudah mengembalikan kepercayaan khalayak ramai untuk kembali menata hidup mereka di Poso, di tanah kelahiran mereka sendiri. Apalagi sejak saat itu serangkaian aksi teror terus terjadi. Ada banyak kelompok. Ada banyak pula korbannya. Penembakan, peledakan bom dan penculikan di Poso dan Palu mewarnai pemberitaan media pasca ditekennya perjanjian Malino pada 2003. Pelakunya dengan mudah dikenal dan kemudian ditangkap aparat keamanan. Tapi seperti sel yang terus membelah, kelompok penebar teror ini terus berkembang.

Jamaah Islamiyah kemudian disebut-sebut menjadi salah satu wadah yang mengumpulkan mereka. "Mereka disatukan oleh kesamaan nasib. Keluarga mereka dibantai. Anak-anak terpisah dari ayah dan ibunya. Itu membuat mereka bertekad membalaskan dendamnya. Negara lambat menanganinya," ungkap Adnan pada saya dalam pelbagai kesempatan berbincang dengannya.

Lalu Kepolisian tidak mau ambil risiko lagi. Pada 11 dan 22 Januari 2007, ribuan aparat Kepolisian menghancurkan basis Jamaah Islamiyah di Poso. Ribuan Polisi menyerang basis jaringan kelompok sipil bersenjata yang berafiliasi kepada JI di kelurahan Gebangrejo, Kecamatan Poso Kota. Sebanyak 60 orang ditangkap. Lalu sebanyak 15 orang yang diduga anggota kelompok sipil bersenjata itu tewas ditembak Polisi dan 2 polisi pun menjadi korban dalam operasi itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun