Mohon tunggu...
Nur Fatah
Nur Fatah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Hukum UIN SunanKalijaga

Yakin Usaha Sampai

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kapitalisme dalam Balutan Fetisisme Komoditas

5 September 2020   22:25 Diperbarui: 5 September 2020   22:15 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di sebuah kedai kopi di sudut icon Kota Yogyakarta seperti biasa saya dan teman-teman memesan secangkir kopi hitam untuk menemani diskusi dan tukar pikiran diantara kita. Namun, ada hal yang menarik perhatian saya dan terdorong untuk membaca dan menggali keingintahuan saya sebagai referensi untuk dipelajari. 

Saya melihat beberapa mahasiswa dengan penampilan menarik dan atribut mahal yang melekat di badannya, saya paham betul mereka adalah mahasiswa dengan fasilitas yang sempurna dibanding mahasiswa rata-rata seperti saya. 

Dengan memesan beberapa minuman dan duduk di tempat yang cukup strategis mereka memanfaatkan spot-spot dan sudut dari kedai kopi tersebut untuk kebutuhan sosial media dengan memposisikan diri sedemikian rupa dengan pose sekujur tubuh yang nampak berbagai atribut mahal. Namun mereka tak lama mengambil waktu di tempat itu lalu bergegas pulang setelah memosting dan memenuhi kebutuhan media sosial mereka.

Bagi saya ketika itu adalah hal yang biasa karena setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan diri dan bebas terjun ke lingkungan dan dunia yang mereka pilih. 

Namun, jauh sebelum adanya fenomena tersebut ada catatan menarik dalam buku Das Capital II karangan Karl Marx yaitu tentang bagaimana seorang individu dalam masyarakat kapitalis modern mempercayai bahwa suatu barang hasil produksi memiliki kekuatan otonom untuk menentukan relasi sosialnya (Lewin dan Morris, 1977). 

Hal ini berarti dalam diri individu tersebut timbul keyakinan bahwa nilai-nilai eksistensi dirinya dalam ruang sosial bisa tersimbolisasikan dalam barang-barang produksi tersebut. Pada indvidu ini, yang terjadi ialah ia membeli barang hanya untuk mendapatkan 'nilai yang melekat pada barang itu', bukan karena membutuhkan nilai gunanya.

Pemikiran Marx tersebut relevan dengan kondisi masyarakat modern saat ini yang identik dengan suatu paradigma bahwa barang produksi dapat mendefinisikan status sosial mereka. 

Dengan menjual brand, sebuah produk menghadirkan prestise, untuk menunjukkan apa posisi pemiliknya. Berbagai komoditas dengan segala simbol yang melekat di dalamnya telah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat modern. 

Gaya hidup modern tersebut mendorong seorang individu untuk mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial seseorang melalui segala properti yang dimilikinya. Gaya hidup bermewah-mewahan yang sebelumnya terbatas pada masyarakat kelas atas, kini cenderung terjadi pula pada masyarakat di kalangan menengah.

Berbagai konstruk sosial tersebut pada akhirnya akan menumbuhkan sifat fetish yang mendorong masyarakat pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud kebendaan. 

Media, dengan segala kontennya, membangun persepsi sosial yang mempercayai bahwa gaya hidup modern adalah yang senantiasa memperbaharui diri dengan mengkonsumsi barang-barang bermerk yang paling up to date.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun