Bahasa adalah medium utama dalam dunia politik. Melalui bahasa, seorang politisi membangun citra diri, menyampaikan visi, menggerakkan emosi publik, bahkan meneguhkan relasi kuasa. Dalam kajian linguistik politik, bahasa tidak dipandang sekadar alat komunikasi netral, tetapi sebagai instrumen ideologis yang sarat makna dan strategi. Oleh sebab itu, gaya bahasa para aktor politik kerap menjadi objek kajian akademis karena di dalamnya terdapat dinamika antara bahasa, kekuasaan, dan ideologi.
Prabowo Subianto, sebagai figur politik yang menonjol dalam dua dekade terakhir, menghadirkan gaya komunikasi politik yang khas. Dengan latar belakang militer dan pengalaman panjang dalam kontestasi politik nasional, gaya bahasanya mengandung ciri yang membedakannya dari politisi lain. Beliau tidak hanya tampil dengan ketegasan dan retorika militeristik, tetapi juga mengadopsi diksi populis dan nasionalistik yang dekat dengan masyarakat luas. Hal ini menjadikan gaya bahasanya menarik untuk dikaji dari sudut pandang linguistik.
Â
Gaya Diksi
Salah satu ciri menonjol dalam gaya bahasa politik Prabowo Subianto terletak pada pemilihan katanya (diksi) yang memperlihatkan dua corak utama: militeristik dan populis. Corak militeristik muncul sebagai refleksi dari latar belakangnya sebagai prajurit dan jenderal. Dalam berbagai pidato, beliau sering menggunakan kata-kata seperti berjuang, tempur, disiplin, kedaulatan, garis depan, hingga perang melawan korupsi. Diksi ini memberi kesan bahwa politik adalah arena perjuangan yang keras, menuntut ketegasan, strategi, dan loyalitas layaknya medan pertempuran. Dengan kata lain, penggunaan diksi militeristik memperkuat citra dirinya sebagai pemimpin tegas dan berani, yang siap "bertarung" demi kepentingan bangsa.
Namun di sisi lain, gaya diksi Prabowo juga sarat dengan nuansa populis. Beliau kerap menyebut istilah rakyat kecil, wong cilik, petani, nelayan, atau buruh dalam pidatonya. Pemilihan kata-kata ini mencerminkan upaya untuk menghadirkan kedekatan emosional dengan masyarakat akar rumput. Secara linguistik, penggunaan istilah tersebut bukan sekadar penyebutan profesi atau kelompok sosial, tetapi sarana membangun identitas politik yang berpihak pada rakyat banyak. Melalui diksi populis ini, Prabowo menegaskan dirinya sebagai representasi suara rakyat sekaligus antitesis dari "elit" politik dan ekonomi yang dianggap jauh dari realitas masyarakat bawah.
Perpaduan dua corak diksi ini militeristik dan populis memberikan warna yang unik dalam retorika Prabowo. Beliau bukan hanya berbicara sebagai mantan prajurit yang tegas dan disiplin, tetapi juga sebagai figur populis yang memahami penderitaan rakyat. Dari perspektif linguistik politik, gaya diksi semacam ini menjadi strategi komunikasi yang efektif, karena mampu memadukan kekuatan simbolik (otoritas militer) dengan kedekatan emosional (populisme) sehingga pesan politiknya mudah diterima oleh berbagai lapisan masyarakat.
Retorika dan Strategi Persuasi
Retorika merupakan seni berbicara yang bertujuan memengaruhi, meyakinkan, dan menggerakkan audiens. Dalam konteks politik, retorika menjadi alat utama seorang pemimpin untuk membangun legitimasi sekaligus mengarahkan opini publik. Gaya bahasa Prabowo Subianto memperlihatkan strategi retorika yang khas, yaitu perpaduan antara ketegasan, emosionalitas, dan simbolisme perjuangan.
Prabowo kerap menggunakan repetisi sebagai teknik retoris. Pengulangan frasa atau kalimat tertentu, seperti "rakyat butuh makan, rakyat butuh pekerjaan, rakyat butuh keadilan," bukan hanya mempertegas pesan, tetapi juga membantu audiens mengingat gagasan yang disampaikan. Dalam linguistik retorika, repetisi berfungsi sebagai penekanan sekaligus penanaman ide dalam benak pendengar.