Mohon tunggu...
Deandra Syarizka
Deandra Syarizka Mohon Tunggu... -

Panggil aku Izka. Aku mahasiswa jurnalistik. Aku menyenangi dan menikmati seni, apa pun bentuknya, apalagi teater. Aku perempuan yang berusaha untuk sadar dan peduli atas nasib kaumnya. Aku menulis, sebagai kepanjanganku dari berbicara.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Trilogi Ronggeng: Sebuah Apresiasi

15 Maret 2010   08:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:25 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Trilogi Ronggeng

Suatu hari seorang sahabat menyodorkanku buku ini. “Bacalah”, ujarnya. Demikianlah halnya, lembar demi lembar ku lahap hingga akhirnya ketiga buku itu buat imajiku kenyang. Buku ini bagus. Trilogi Ronggeng: Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala ini sukses membuatku kagum akan kemahiran Ahmad Tohari dalam berdeskripsi. Sukses juga meyakinkanku bahwa orang yang peka terhadap lingkungan dapat membuat deskripsi yang sedemikian detail dan asik, tanpa membuat alur cerita terasa lambat. Begitulah yang dilakukan Ahmad Tohari. Deskripsi tentang setting tempat berupa desa kering kerontang bernama Dukuh Paruk berhasil dengan gemilang ia ceritakan dalam novel terbitan tahun 1980-an ini. Berhasil pula membangun imaji  kuat yang berlawanan dengan yang selama ini kuat melekat dalam kepala: bahwa tidak semua desa subur, gembur.Sangat terlihat bahwa Ahmad Tohari sering memerhatikan dengan sungguh-sungguh alam sekitarnya. Bila tidak, ia tidak akan mampu membuat kalimat macam: “Walang kerik membaurkan diri dengan warna hijau dedaunan. Dia hanya bisa diketahui bila ada hembusan angin. Pada saat itu naluri memerintahkannya menggesekkan sayap sehingga terjadi suara yang khas” Adalah Srintil, seorang gadis Dukuh Paruk yang menjadi tempat indang ronggeng selanjutnya untuk bersemayam.  Maka tidak bisa tidak, dialah ronggeng Dukuh Paruk selanjutnya. Dukuh Paruk tanpa ronggeng hanya punya kemiskinan dan kebodohan sebagai warisan turun temurun. Srintil tidak bisa mengelak takdir. Ia pun rela menjadi ronggeng, menjadi perempuan milik semua, milik Dukuh Paruk. Rasus, teman sepermainannya, sungguh keberatan dengan keputusan Srintil untuk menjadi ronggeng. Karena dengan begitu, ia tidak bisa lgi melihat cerminan Emak-nya dalam diri Srintil. Selanjutnya, cerita berlanjut ke bagaimana Srintil menjadi ronggeng paling terkenal, hingga tuduhan keterlibatannya dalam peristiwa naas ‘65, hubungannya dengan Rasus, dan perspektif  Srintil yang berubah mengenai sosok ronggeng. Trilogi Ronggeng sarat dengan nilai keperempuanan. Agak mengesalkan membaca bagaimana sosok perempuan yang digambarkan sebagai seorang ronggeng diperlakukan di novel tersebut. Alis mengkerung membayangkan bagaimana para perempuan sekaligus istri di Dukuh Paruk berlomba-lomba untuk mendapatkan suaminya tidur dengan Srintil. Adalah sebuah gengsi dan kebanggaan yang sangat ketika seorang lelaki berhasil “merasakan” Srintil, termasuk untuk para perempuannya sekalipun. Untuk hal yang ini, Ahmad Tohari berhasil membangun imaji kuat sekaligus memainkan emosi pembacanya. Bagiku yang lahir sepuluh tahun setelah buku ini diterbitkan, dan baru membacanya tiga puluh tahun kemudian, buku ini tetap asik untuk dinikmati. Meski tidak dapat dipungkiri, ada beberapa suku kata yang kurang dikenal. Seperti aku baru tahu bahwa “bianglala” berarti juga “pelangi”, atau “kemukus” yang berarti “komet”. Aku juga baru mengenal bahwa ternyata ada binatang bernama “agas”, “gangsir”, dll. (ah kayaknya emang aku aja yang norak ya? masak baru tahu? haha) Tapi justru dengan begitu koleksi perbendaharaan kata makin bertambah. Untukku pribadi, aku kurang suka dengan endingnya. Seakan belum selesai. Hubungan Srintil dengan Rasus masih bisa diceritakan. Bagaimana nasib Rasus dan Emak-nya, juga masih bisa diceritakan. Atau pengarang memang sengaja membuat ending seperti itu agar pembaca bisa dengan leluasa melanjutkannya dengan membuat ending yang mereka sukai dalam benak masing-masing? Entahlah, itu hak prerogative-nya pengarang. Yang jelas, kalau aku pengarangnya, akan kubuat ending yang serba bahagia: Rasus bertemu dengan emaknya. Rasus menikahi Srintil, dan Srintil tidak gila! (hahaha,Hollywood banget ga sih?

D
D
)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun