Mohon tunggu...
Babinsa Center
Babinsa Center Mohon Tunggu... Tentara - The Babinsa

Cepat tidak mendahului Pintar Tidak Menggurui Kehadiran Kami, melengkapi yang Sudah Lengkap

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Jara Mbojo, Sejarah Peradaban Kuda dan Dou Mbojo "Bima".

29 November 2024   16:27 Diperbarui: 29 November 2024   18:00 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Danrem 162 WB Brigjen TNI Agus Bhakti Menyerahkan Kuda Bima untuk dikembang biakkan (Lepas Liar) di Pulau Sangiang Api Wera Kab. Bima )


Di tengah deru ombak dan hijaunya alam Pulau Sangiang, tersimpan kisah sejarah yang menunggu untuk diceritakan kembali. Pulau yang terletak di perairan Bima ini bukan hanya sekadar destinasi wisata, melainkan juga saksi bisu warisan peradaban, budaya, dan ekosistem yang kaya. Dalam beberapa tahun terakhir, upaya konservasi Kuda Bima---spesies kuda lokal yang melambangkan kekuatan dan keanggunan---telah menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Di tengah riuh masyarakat Bima di Desa Sangiang Wera, berlangsung prosesi Kalondo Lopi. Rombongan Danrem 162/Wirabhakti, Brigjen TNI Agus Bhakti, Ketua Ikra Nusantara Prof. Muhtar, dan Dandim 1609/Bima Letkol Inf Andi Lulianto, menumpang berbagai kapal, termasuk Boat Baracuda DPKP Prov NTB dan kapal kayu Phinisi, berlayar menuju Pulau Sangiang Wera untuk melepas Kuda Bima---yang pernah menjadi legenda Nusantara.

Kuda Bima, Tipikal Kuda dengan daya tahan dan keanggunan fisiknya, dahulu merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat lokal dan Nusantara. Namun, seiring berjalannya waktu, populasi mereka menurun drastis akibat perubahan lingkungan dan erupsi Gunung Sangiang Api pada tahun 1985. Dalam langkah positif, Brigjen TNI Agus Bhakti dan Letkol Inf Andi Lulianto, bersama Prof. Muhtar, berinisiatif menggencarkan upaya konservasi Kuda Bima, melibatkan seluruh elemen masyarakat pecinta kuda untuk memulihkan keberadaan spesies ini dan memperkaya keanekaragaman fauna di Pulau Sangiang.

(Pasukan Kavaleri Berkuda Jara Sarau kerajaan Bima, Nampak Kuda Putih adalah keturunan dari Kuda La Manggila)
(Pasukan Kavaleri Berkuda Jara Sarau kerajaan Bima, Nampak Kuda Putih adalah keturunan dari Kuda La Manggila)
Konservasi Kuda Bima tidak hanya berpengaruh pada populasi kuda tersebut, tetapi juga memperkuat komunitas lokal. Masyarakat terlibat aktif dalam program pelestarian, mempelajari pentingnya keberlanjutan ekosistem dan nilai-nilai tradisional yang perlu dijaga. Kini, Kuda Bima menjadi simbol kebanggaan yang menyatukan masyarakat dalam upaya melestarikan warisan budaya yang hampir terlupakan.
Dengan langkah-langkah ini, sejarah peradaban Pulau Sangiang Api Wera dan Kuda Bima seakan terlahir kembali. Dari titik nadir, Kuda Bima bangkit sebagai lambang harapan dan pemulihan. Setiap kuda yang berlari di padang rumput Pulau Sangiang mengingatkan kita akan pentingnya hubungan antara manusia dan alam, serta tanggung jawab untuk menjaga warisan nenek moyang.

(Makam Sang La Mbila Sultan Abil Khair Siradjuddin hingga Makam Syaihk Umar Albantani di Tolo
(Makam Sang La Mbila Sultan Abil Khair Siradjuddin hingga Makam Syaihk Umar Albantani di Tolo"bali Rasa Na'e Barat Kota Bima)
Kitab Negara Kertagama mencatat bahwa Kerajaan Bima pernah mengirimkan kuda perang dari Sangiang Api Wera yang dipimpin Rangga Lawe untuk digunakan oleh Raden Wijaya dalam memperkuat militer Majapahit. Kiprah kuda perang dari Bima ini menjadi momok bagi pasukan Belanda yang berusaha menguasai Mangkasara. Gubernur Belanda, Spelman, memberikan perhatian khusus kepada seekor Kuda La Manggila, kuda Sultan Bima, La Mbila Abilkhair Siradjuddin, yang merupakan ipar Sultan Hasanuddin. Saat kuda ini memasuki arena pertempuran Somba Opu dan Perang Bone, pekikan "I AMBELA... I AMBELA MALOMBASSY" menggema, menunjukkan keberanian Sang I Ambela.
La Manggila, kuda yang tangkas dan berani, dibesarkan di kaki Gunung Berapi Sangiang Wera. Ia selalu setia menemani Sang I Ambela dalam setiap pertempuran. Ungkapan mengatakan bahwa "Goa Tak Terkalahkan" oleh Bone ada Kiprah keberanian kuda ini.

Van Bram Morris mencatat, setelah Perang Bone, kuda La Manggila diberhentikan secara terhormat dan dimerdekakan oleh Sultan La Mbila. Sebagai penghargaan, kuda ini diangkat menjadi kuda kerajaan dan diberi nama "JARA MANGGILA." Ketika La Manggila melintas, tidak ada yang boleh mengganggu, atau akan dikenakan denda. Saat melintasi benteng-benteng Belanda, juga diwajibkan membunyikan dentuman meriam sebagai penghormatan Laksana Penghormatan kepada perwira tinggi militer.

(Isi Perjanjian Bongaya Perintah Penangkapan Sultan Bima Abil Khair Siradjuddin dan Laksamana Pabise Karaeng Bonto Maranu serta Isolasi Kesultanan Bima oleh Spelman )
(Isi Perjanjian Bongaya Perintah Penangkapan Sultan Bima Abil Khair Siradjuddin dan Laksamana Pabise Karaeng Bonto Maranu serta Isolasi Kesultanan Bima oleh Spelman )
Kisah kuda-kuda Bima juga tercermin pada  adab seorang ulama Bumi Bangkalan kepada gurunya dari Bima. Alayarham Kiyai Kholil Bangkalan, yang pernah menaiki delman, mendapati kudanya tidak mau berjalan. Beliau bertanya pada saisnya, saisnya menjelaskan bahwa Kuda tersebut berasal dari Bkma,  mengetahui bahwa itu adalah kuda dari Bima. Dengan penuh hormat, Sang Kiyai turun dari delman dan menasehati sais untuk tidak menyakiti kuda tersebut, sebagai bentuk penghormatan kepada gurunya, Syaihk Abdul Ghani Albimawi. Sang Kiyaipun menunutun Kuda tersebut hingga kerumahnya, Sebuah kisah penghormatan kepada Guru dan Sang Pemberi Ruh. 
(Dandim 1608/Bima Letkon Inf Andi Lulianto ikut Melapas Kuda di Pulau Sangiang Api Wera Kab. Bima)
(Dandim 1608/Bima Letkon Inf Andi Lulianto ikut Melapas Kuda di Pulau Sangiang Api Wera Kab. Bima)
Kini, Pulau Sangiang tidak hanya menjadi tempat konservasi, tetapi juga pusat pendidikan, Pariwisaya, penelitian, dan inspirasi bagi banyak orang. Kembalinya Kuda Bima adalah kisah tentang ketahanan, dedikasi, dan cinta akan alam yang terus mengalir dalam jiwa masyarakat Bima. Sejarah yang tertulis kembali mengajak kita untuk merenungkan arti kehidupan yang saling terhubung, serta pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan lingkungan.

(Pulau Sangiang Api Kab. Bima)
(Pulau Sangiang Api Kab. Bima)

*Harmoni Alam, Harmoni Manusia*  *SANDAKA DANA MBOJO*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun