Mohon tunggu...
Andi Sitti Mariyam
Andi Sitti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang Ibu, peminat pendidikan dan pemerhati sekitar :)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membangun Koalisi Besar Indonesia

21 Mei 2018   22:24 Diperbarui: 21 Mei 2018   22:35 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Refleksi 20 tahun Reformasi)

20 tahun sudah berlalu sejak gerakan mahasiswa tahun 1998 menuntut reformasi kepemimpinan nasional dan perbaikan situasi akibat krisis ekonomi. Waktunya bernostalgia sekaligus melakukan evaluasi. Setiap bangsa di dunia ini mengalami sejarahnya masing-masing. Reformasi bahkan revolusi adalah keniscayaan dalam takdir perjalanan hidup sebuah bangsa. Namun apakah pergolakan politik itu berbuah pada perubahan politik yang fundamental? Atau hanya peralihan kekuasaan dari satu kelompok elit ke tangan kelompok elit lainnya yang tidak mengutamakan kemakmuran kecuali kemakmuran kelompok atau dirinya sendiri? 

Mei 1998, saat itu saya sendiri adalah mahasiswa semester kedua di ITB. Komunitas aktivis mahasiswa di masa itu, hampir setiap hari membicarakan kondisi bangsa. Kami kerap melakukan aksi di dalam kampus, bahkan sejak tahun 1997 ketika saya baru beberapa bulan masuk ITB. Awalnya hanya sebagian kecil mahasiswa saja yang rutin berkumpul di sekitar lapangan basket dan boulevard ITB. Kami bergantian berorasi, sebagian bernyanyi atau membaca puisi sebagai ungkapan keprihatinan dan ekspresi ketidakpuasan dan kritik kepada pemerintah. Sebuah lagu berjudul 'Reformasi atau Revolusi' tercipta di tengah penghayatan saya terhadap kondisi saat itu. Salah satu liriknya berbunyi,

"Terdesak kita terdesak, tertindas di negeri sendiri..."

"Dua pilihan harus kita jalani, reformasi atau revolusi..."

Waktu terus berjalan, gelombang aksi semakin besar. Puncaknya di mulai sejak bulan April tahun 1998. Aksi-aksi mahasiswa ITB kemudian berjumlah sangat banyak. Ratusan bahkan ribuan mahasiswa memenuhi ruas jalan Ganesha dan jalan-jalan sekitarnya. Kesadaran akan keniscayaan perubahan kala itu ada di dada banyak orang. Tidak hanya di Bandung dan Jakarta, gerakan mahasiswa 1998 menyebar di hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Dukungan berbagai elemen di masyarakat kami rasakan meluas. 

Bagaimanapun gerakan mahasiswa saat itu pantas dikenang sebagai gerakan yang lantang menyuarakan nurani rakyat dan mampu berperan sebagai gerakan yang efektif menekan penguasa. Tanggal 21 Mei 1998 akhirnya Presiden Soeharto turun dari jabatannya, rezim orde baru runtuh. Salah satu tuntutan mahasiswa tercapai. Namun setelah 20 tahun berlalu, benarkah substansi cita-cita reformasi juga telah tercapai?

Stagnansi di berbagai bidang (jika tidak ingin disebuat kegagalan) kita sebagai sebuah bangsa pasca reformasi 1998 adalah hasil pengelolaan negara selama kurun waktu 20 tahun ini. Saya tidak hendak 'hanya' menyalahkan pemerintah yang sekarang ini saja, tapi marilah kita introspeksi secara kolektif sebagai sebuah bangsa. 

Sayangnya diskusi di ruang-ruang publik hari ini, terutama di media-media sosial mayoritas hanya berisi perdebatan subyektif soal keberpihakannya pada figur politik tertentu atau pendapatnya pada peristiwa politik tertentu yang selalu berujung pada perdebatan antara pendukung si ini atau si itu. Dukung mendukung yang membabi buta ini bahkan dilakukan oleh akademisi atau masyarakat berpendidikan tinggi. Masyarakat terbawa pada cara berfikir yang kurang obyektif dan tidak substantif.

Fakta hari ini: Kemiskinan dan Lemahnya Daya Beli 

Menurut data BPS ada 28 juta rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dimana definisi garis kemiskinan menurut Pemerintah Indonesia pada Maret 2016 adalah perdapatan per bulan (per kapita) sebesar Rp. 354.386,- (atau sekitar USD $25). Seseorang dengan pendapatan per bulan sebesar Rp 400.000,00 atau Rp 500.000,00 mereka hanya sedikit saja berada di atas garis kemiskinan menurut garis kemiskinan nasional. Tapi kualitas hidup macam apa yang dimiliki seseorang dengan pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp 400.000,00 atau Rp 500.000,00. Standar hidup yang sangat rendah, bahkan untuk pengertian orang Indonesia sendiri. Tanpa perlu kita bandingkan dengan penduduk negara-negara maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun