RASULULLAH SAW. BERSABDA YANG ARTINYA:
“BARANGSIAPA BERWAJAH MENDUA DI DUNIA INI, MAKA KELAK IA HARI KIAMAT DIA AKAN MEMILIKI DUA LISAN (LIDAH) DARI API NERAKA
( HR ABU DAUD DAN IBNU HIBBAN DALAM KITAB SHOHIHNYA)
“Munafik ? Kita ?“ Demikianlah saya bayangkan reaksi para pembaca yang tidak setuju dengan judul karangan ini. Berbicara soal “munafik” saja sudah merupakan suatu hal yang kurang menyenangkan, apalagi untuk berfikir bahwa kitalah (artinya. pembaca dan saya) yang munafik itu, rasanya seribu kali lebih tidak menyenangkan.
Tetapi para pembaca, apakah hal-hal yang tidak menyenangkan selalu tidak boleh dibicarakan ? Bukankah hal-hal yang tidak menyenangkan itu adalah fakta pula ? Realitas yang harus kita hadapi sehari-hari ? Dan siapa yang dapat menjamin bahwa kita (anda dan saya) tidak munafik ? seandainya sekarang belum munafik, siapa yang dapat menjamin bahwa seterusnya kita tidak akan munafik ? Nah, tulisan ini justru ingin mengajak para pembaca untuk bersama-sama mendalami masalah kemunafikan ini. Bukan mendalami untuk kelak ikul-ikutan menjadi munafik tetapi merenunginya lebih mendalam agar kita dapat menjauhkan diri akhlaq buruk ini.
Yang dimaksudkan dengan munafik dalam catatan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :"
MUNAFIK ADALAH SIFAT YANG ADA PADA SESEORANG YANG SERING KALI MELAKUKAN BERBAGAI PERBUATAN YANG SALING BERTENTANGAN SATU SAMA LAIN DI MANA SALAH SATU ATAU SEBAGIAN DARI PERBUATAN-PERBUATAN ITU TERPAKSA DILAKUKAN SECARA SEMBUNYI-SEMBUNYI ATAU DISEMBUNYIKAN DARI ORANG LAIN, KARENA BERTENTANGAN DENGAN NORMA, ATAU NILAI-NILAI YANG BERLAKU.
Contoh dan kemunafikan paling mudah ditemui di kalangan orang penting atau pejabat tinggi. Soalnya perbuatan dan perkataan-perkataan mereka kita lihat atau dengar setiap hari melalui mass-media. Kita bisa melihat misalnya pejàbat yang menganjurkan hidup sederhana, tetapi Semua orang tahu bahwa ia mempunyai mobil delapan buah dan rumah beberapa biji masih ditambah tanah beberapa puluh hektar. Pejabat lain menyerukan anti komersialisasi jabatan, tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa ia tidak pernah menolak kalau ia disodori sesuatu untuk melicinkan urusan-urusan dalam wewenangnya.
Itu adalah contoh-contoh yang segera terlihat. Tetapi jangan menyangka bahwa kemunafikan tidak terdapat di kalangan lain selain pejabat. Cobalah tengok orang-orang, kawan-kawan atau kenalan-kenalan di sekitar kita, atau bahkan barangkali diri kita sendiri. Pasti anda akan menjumpai pula kemunafikan , dalam bentuknya yang kecil-kecilan atau yang besan-besaran. Misalnya. ayah yang menyuruh anaknya berpuasa padahal ia sendiri hanya benpuasa di rumah, mahasiswa yang pagi harinya menandatangani petisi anti kemewahan padahal malam harinya ia pinjam mobil kantor ayahnya dan mengajak pacarnya nonton film di bioskop kelas satu juta-an, pelajar yang sok jujur tetapi sering menyontek, suami yang sok tidak merokok di depan isterinya tetapi selalu merokok di kantor, isteri yang di muka suaminya setia tetapi di depan tetangga-tetangganya mempergunjingkan kejelekan-kejelekan suami dan sebagainya saya percaya bahwa pembaca bisa menambahkan seribu satu macam contoh lain, karena memang kemunafikan berada di mana-mana, termasuk barangkali di dalam diri kita sendiri.
Sekarang marilah kita kaji apa sebenarnya yang terjadi dalam perbuatan munafik itu. Dan contoh-contoh di atas, JELASLAH BAHWA DI DALAM PERBUATAN MUNAFIK SELALU ADA DUA ATAU LEBIH PERBUATAN, YANG SALING BERTENTANGAN. YANG SATU BAIK, DALAM ARTI MENGIKUTI NORMA-NORMA YANG BERLAKU DALAM MASYARAKAT, MENURUT KEPADA NILAI-NILAI IDEAL, SEDANGKAN YANG LAIN BURUK, dalam arti bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat atau idealisme.
Jadi sebenarnya ada dua motivasi yang muncul sekaligus pada masa yang bersamaan atau hampir bersamaan, yaitu motivasi untuk mengikuti norma-norma dan motivasi untuk mendapat kepuasan-kepuasan tertentu yang tidak dibenarkan norma-norma. Orang yang munafik adalah orang yang tidak dapat menentukan pilihan, mana di antara kedua motivasi itu yang mau diikutinya dan mana yang akan dihindarinya. Ia ingin memenuhi kedua-duanya sekaligus. Karena itu ia mengadakan KOMPROMI, jadilah ia seorang munafik. Dalam lingkungan yang satu ia berbuat seolah-olah lain, telapi dalam lingkungan yang lain ia menjadi orang yang hanya mengikuti nafsunya sendiri saja. Dalam agama Islam orang yang semacam ini sumber bencana,hal ini dapat dibuktikan di jaman perjuangan merebut kemerdekaan, betapa banyak orang munafik yang berfihak kepada bangsa penjajah, dia rela mengorbankan bangsa dan Negara hanya untuk kepentingan pribadinya, saat seperti sekarang ini bangsa dalam keadaan terpuruk, masih tega-teganya korupsi besar-besaran. Walhasil sangat pantas dan wajar jika dalam Al Qur-ansurat An Nisaa ayat 45 :
“SESUNGGUHNYA ORANG-ORANG MUNAFIK ITU (DITEMPATKAN) PADA TINGKATAN YANG PALING BAWAH DARI NERAKA. DAN KAMU SEKALI-KALI TIDAK AKAN MENDAPAT SEORANG PENOLONGPUN BAGI MEREKA”.
Rasulullah saw, juga memberikan gambaran sebagai cirri-ciri orang munafiq,yaitu:
Apabila berbicara berdusta, apabila berjanji mengingkari tidak menepati, apabila dipercaya berkhianat.
Pada anak-anak kemunafikan ini belum ada. Apa yang dipikirkan oleh seorang anak, itulah yang diperbuatnya (karena pada anak-anak masih tdk banyak memiliki KEPENTINGAN). Pada suatu saat seorang anak hanya mempunyai satu tujuan dalam perbuatan-perbuatannya dan tujuan ini biasanya sesuai dengan norma-norma, karena kalau ia agak menyeleweng sedikit, terang sudah akan dimarahi oleh orang tuanya. Karena itu anak-anak umumnya jujur.
Suku-suku bangsa yang primitif atau orang-orang desa yang cara berfikirnya masih sederhana, juga umumnya jujur dan tidak kenal kemunafikan dalam diri mereka pada suatu saat hanya berlaku satu norma dan satu nilai, karena itu mereka tidak mempunyai lebih dari satu motivasi perbuatan dalam satu saat yang sama. Dengan demikian kompromi-kompromi tidak diperlukan dan tidak terjadi kemunafikan . Tetapi orang dewasa di masyarakat yang sudah mengalami multi-kebudayaan umumnya lebih mudah menjadi munafik. Soalnya mereka berada dalam lingkungan di mana sekaligus berlaku beberapa nilai dan norma, dan tidak selamanya nilai nilai atau norma-norma itu sejalan satu dengan lainnya. Dihadapkan pada norma-norma yang saling bertentangan itu maka seorang dipaksa untuk melakukan pilihan dan kalau ia tidak bisa memilih, maka ia melakukan kompromi dan kalau sudah terjadi kompromi maka dapat terjebak dalam kemunafikan .
Contohnya bisa kita lihat pada seorang tokoh agama TETAPI IA PUNYA BISNIS YANG BESAR DI JAKARTA. Waktu usaha bisnis sang tokoh agama makin besar, ia harus berhuhungan dengan relasi baru ia mulai berkenalanminuman keras, dengan wanita di kehidupan malam, dengan kata-kata belece dari pejabat, yang semua ini dilarang oleh agama, tetapi merupakan suatu hal yang biasa dalam dunia bisnis. Sang tokoh agamademi kemajuan bisnis terpaksa sewaktu-waktu menanggalkan baju tokoh agamanya dan menggantinya dengan dasi dan mulai menjadi munafik, karena di rumah dan di lingkungan RT-nya menjadi kyai alim yang disegani. Apakah tokoh agamaini bersalah dalam hal ini ? ya jelas salah.Yang jelas pilihannya hanya satu diantar dua pilihan. tetap MENJADI TOKOH AGAMADENGAN RISIKO BISNISNYA TIDAK MAJU, ATAU BISNISNYA MAJU TETAPI TIDAK MENJADI TOKOH AGAMALAGI NAH, ia mencoba cari kompromi (pembenaran prilakunya).
Masalah yang dihadapi sang tokoh agamasaya percaya, adalah sama dengan yang dihadapi oleh kita yang hidup di kota-kota besar, sehingga bukanlah merupakan masalah masing-masing sebagai perorangan, tetapi merupakan masalah kita semua sebangsa. Merupakan masalah nasional. kita ini adalah bangsa yang sedang membangun. Bersama pembangunan, berdatanganlah teknologi baru yang diimport Barat, dan bersama import teknologi import pula (sengaja atau tidak sengaja kebudayaan asing )
Disamping itu, pembangunan itu sendiri membawa pengaruh yang macam-macam. bertambahnya uang yang beredar, bertambahnya barang, timbulnya berbagai jenis barang baru, lancarnya komunikasi dan media, semua itu menumbuhkan kebutuhan-kebutuhan baru yang semula tidak pernahada. Kalau dulu orang Indonesia hanya membutuhkan hal-hal yang primer saja seperti sandang, pangan, permukiman dan pendidikan serta pekerjaan, maka sekarang orang Indonesia sudah membutuhkan seribu satu macam hal lain seperti pengangkutan, hiburan, dan sebagainya Bukan itu saja. Bahkan tumbuh pula kebutuhan akan SIMBOL-STATUS sehingga tidak hanya jumlah jenis kebutuhan yang bertambah, melainkan kualitasnyapun meningkat. Makan tidak cukup nasi biasa, tetapi harus beras Cianjur, dan sekali sekali makan di restoran mewah Rumah tidak cukup asal rumah, tetapi yang harganya ratusan juta Kendaraan tidak cukup bus atau taksi, tetapi harus Mercedes, BMW. Nonton bioskop tidak asal menonton tetapi harus di bioskop dengan AC dan sebagainya dan seterusnya. Akibatnya, tumbuhlah motivasi-motivasi baru yang melebihi kebutuhan primer. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang di atas kebutuhan primer inilah manusia Indonesia (dan juga manusia-manusia lain di negara-negara berkembang) harus melakukan perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada kemunafikan Salahkah manusia-manusia itu ? Sebagai subyek mungkin mereka bersalah, tetapi sebagai obyek, yang merupakan sebagian saja dari proses pembangunan, mereka hanya menjadi akibat dari adanya proses pembangunan itu sendiri Mereka hanya menyesuaikan diri terhadap keadaan. Kalau begitu, apakah kita semua ini akan menuju kepada kemunafikan total ? Barangkali ya, tetapi mungkin juga tidak. Soalnya, dapatkah kita sebagai bangsa mengekang diri kita sendiri sehingga dapat menekan kebutuhan-kebutuhan kita kepada tingkat primer saja ? Dapatkah kita sebagai bangsa mengadakan gerakan perlawanan terhadap arus modernisasi atau arus pembangunan ? maksud saya bukan menentang pembangunannya, tetapi menentang efek-efek sampingannya. Dapatkah ? Yang jelas gerakan ini tidak bisa dimulai dari bawah .yaitu dari kita masing-masing perorangan, bagaimanapun juga adalah sulit bagi orang per-orang untuk melakukan gerakan anti kemunafikan kalau semua orang lain di sekitarnya melakukan hal tersebut.
Lalu, bagaimanakah jalan keluarnya ? Saya berpendapat bahwa gerakan kembali kepada kebutuhan-kebutuhan primer, yang merupakan kunci dari pada tumbuhnya kembali kejujuran di negara kita dapat digalakkan menjadi suatu gerakan seluruh bangsa asal dimulai dari atas.
Pemerintah saat ini bukannya tidak menyadari hal itu. TERBUKTI DARI SUDAH SERINGNYA DICANANGKAN POLA HIDUP SEDERHANA, ANTI KEMEWAHAN, ANTI KOMERSIALISASI JABATAN, ANTI KORUPSI DAN SEBAGAINYA ITU. Tetapi yang masih kurang adalah pemberian contohyang kongkrit dari pejabat-pejabat pemerintah itu sendiri. Saya yakin kalau kita memiliki kepemimpinan nasional yang benar-benar jujur dan sederhana, tetapi sekaligus berwibawa, keras dalam melaksanakan hukum dan mau mendidik kader-kader penggantinya, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama seluruh rakyat Indonesia akan mencontoh sifat-sifatnya dan nasionalisme yang sudah merata membuat seorang Indonesia yang tinggal di pelosok jauh dari Jakarta sekaligus, masih menganggap pemimpin-pemimpin negaranya sebagai pemimpinnya. Contoh kepemimpinan bagi orang Indonesia sekarang tidak lagi terbatas kepada kepala suku atau raja masing-masing. Karena itu secara teoretis sesungguhnya tidak sukar mengatur orang Indonesia untuk hidup sederhana dan jujur asal benar-benar diberi contoh.