Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Otak-otak, Caola, hingga "Blockchain Cryptoshare"

8 Mei 2018   14:33 Diperbarui: 8 Mei 2018   21:10 3285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: economist.com/Getty Images)

Bahannya tapioka, ikan, diberi bumbu, kemudian diblender, selanjutnya dibungkus kecil pakai daun pisang, disangrai di bara api, lebih meriah dengan bara batok kelapa. Aroma tepung berkelindan daun pisang bakar, melahirkan makanan bertajuk otak-otak, dilahap dengan racikan sambal khusus, yummm.

Di Pangkalpinang, Ibu Kota Provinsi Bangka Belitung, kami punya langganan warung otak-otak telah meraup belasan juta rupiah sebulan. Hanya jualan otak-otak.

Otak-otak Bangka saya maksud dibungkus berdaun pendek, setengah telunjuk saja. Bagian atas dan bawahnya dikunci tusukan lidi. Adonan tepung sebanding ikan. Tidak seperti otak-otak kebanyakan, berdaun sejengkal, di lidah lebih berasa tepung. Diferensiasi menjadi kunci rasa otak-otak Pangkalpinang. Beda dengan otak-otak di Jakarta rata-rata.

Kolega saya, Bambang Prasetya, di Surabaya baru saja bercerita pekan lalu. Ia dulu diajak oleh kawannya memulai bisnis es cincau. Kemarin setelah lama tak berjumpa sang kawan, jaringan Es Caola 99 di Surabaya, kini perputaran usahanya sudah lebih dari Rp 2 miliar sebulan.

"Jadi menyesal saya tak ikutan dulu," kata Bambang.

Ia lalu memberikan link sebuah blog kepada saya. Di link saya baca, bagaimana seorang terkena PHK, joint dengan Es Caola 99. "Satu bulan aku jalani, belum begitu ada hasil. Bulan kedua ada tanda-tanda, akhirnya di bulan keempat sudah setara dengan empat kali lipat gaji UMR," tulis Hary, biasa mangkal di Jalan Brawijaya, Surabaya. Ia bangga memasang alamat website caola99.

Kunci sukses Caola, pertama fokus kepada es cincau. Kedua, jaringan kemitraan. Saya simak data di online, hingga Juli 2017 jaringan Caola sudah ada di 251 outlet di seluruh Indonesia. Pastilah dalam setahun ini bertambah banyak.

Kisah sukses usaha ritel minuman seperti Caola ini kini, dalam pengamatan saya kian banyak saja. Populasi warga, terlebih di kota besar, menuntut ketersedian suplai makanan dan minuman cepat saji, enak, dan murah. Di saat terik matahari, Es Caola, dengan Rp 2.500 segelas, dahaga lepas. Caola melesat gagah melawan jaringan es berbau nama asing, seperti teh Thailand dan jelly Jepun.

Sayang cerita sukses di ranah media sosial kita bukan lagi hidangan hari-hari. Di tahun politik, jelang Pilkada serentak, jelang Pileg dan Pilpres berbaregan 2019, topik dominan di Sosmed sesuai kami amati dari big data, mechine learning, dan artificial intelligence, berkisar ranah ganti dan tetap sosok presiden. Perang diksi ganti dan lanjut.

Sehingga menjadi barang langka bagaimana persoalan passion, intensi, care, mengusahakan makanan dan minuman menjadi bahasan, boro-boro jadi trending topic, nol bebek kupasan.

Masih dalam kerangka jelang Pilpres itu sejak minggu kedua Desember 2017 hingga saya menulis ini, sudah lima kali bertemu Presiden Joko Widodo. Seorang kepala daerah di sebuah provinsi, karena saya beberapa kali bertemu presiden itu, tertarik bertemu saya. Adalah seorang kawan menantu cucu dari seorang pahlawan mempertemukan.

Sang gubernur mengatakan bagaimana lahan HGU perkebunan terutama sawit lebih 1 juta hektar illegal di provinsinya. Kawan saya itu juga paham bagaimana saya sejak 2005 memverifikasi bagaimana laku perusahaan perkebunan sawit biadabnya terhadap bangsa dan negara.

Sudahlah kejadian menggarong lahan, pemindahan buku penjualan demi mengurangi pembayaran pajak ke negara tanpa basa-basi mereka terjang. Mereka menjual CPO ke perusahaan afiliasinya di negara bebas pajak seperti di British Virgin Island (BVI). Dokumen penjualan itu untuk laporan pajak.

Sehingga kalau CPO misal harga pasar US $ 100 per ton, maka dijualnya ke BVI hanya US $ 20 per ton. Laporan pajak penjualan dilaporkan dua puluh dolar itu, walau sejatinya mereka jualan ke pasar bebas. Laku Transfer Pricing (TP) ini memang melanda lebih terindikasi 65 % transaksi perdagangan Indonesia, dan hingga hari ini belum diurus dengan baik dan benar.

Bayangkan indikasi TP pada 2012 saja sudah dah Rp 2.200 triliun. Ini angka setahun saja. Tahun-tahun berikutnya pasti naik seiring neraca perdagangan. Jika perihal ini diurus oleh pengadilan pajak dibuktikan 30% saja sudah berapa? Jika tersedia Rp 660 triliun untuk mengembangkan kewirausahawanan di bidang makanan dan minuman Indonesia, saya yakin warung Padang dan warung Gudeg sudah ada di New York, bak restoran Thai.

Maka sang gubernur daerah bertemu saya itu, agak nekat. Ia sudah menutup sebuah lahan KP Batubara kualifikasi GAR Cooking Coal. Dan sebentar lagi ia akan persoalkan sejuta lahan illegal perkebunan, apakah diputihkan? Beberapa lagi PKP2B tambang menurutnya akan ia tutup.

"Jika perihal asset sumber daya mineral itu bisa dikembalikan kepada masyarakat adat kami, jangankan hutang neagara di era Pak Jokowi, hutang keseluruhan bangsa dan negara lebih Rp 4 ribu triliun, cukup propinsi kami saja melunasi. Sampaikan ke presiden," perintahnya.

Penjual otak-otak kaya. Pedagang Es Caola juga sudah kaya. Provinsi, bangsa dan negara kita seakan belum kaya, padahal di satu daerah saja, gubernurnya bisa bicara telak ke saya lengkap dengan paparan data tertakar dan terukur cadangan cooking coal-nya di mana di pasaran seton lebih dari US $ 250 kini. Mereka berani membayar lunas hutang negara. Gubernur hanya butuh kepastian hukum regulator pemerintah pusat.

Dalam menuju kaya itu, sebagai provinsi butuh keputusan pusat. Sebagai perorangan, kendala terbesar dihadapi pengusaha: modal.

Seorang kolega saya sudah lama mengupayakan bagaimana coal to liquid (CTL) batubara tak bernilai di GAR rendah, di bawah 40, dapat diolah dijadikan karosen diproses hingga ke solar. Sehingga didapat bahan bakar minyak dari batubara.

Baru pekan lalu itu pula kawan saya itu, Asraf, menyampaikan soal Mastercoin (MTC)-nya sebagai blockchain, memanfaatkan kemampuan global dunia online.

Mereka telah mendulang kepercayaan memperoleh penempatan US $ 10 miliar dengan melepaskan saham riil CTL 40% saja, ke format Cryptoshare. Bukan Bitcoin, tetapi Cryptoshare yang ditaksasi dari bisnis riil. Pasar meng-appraisal ihwal mencairkan batubara kalori rendah menjadi bahan bakar tadi.

Sehingga komunitas pasar online dunia berani menempatkan uang senilah US $ 10 miliar. Tak berpikir panjang saya pun kini fokus ke cryptroshare terobosan pembiayaan raksasa. Sehingga jika bertemu Presiden Jokowi, pastilah topik kami dari Echo, maupun dari IP Center, ihwal beginian, bukan soal Kalajengking, apalagi Kalabendu; zaman edan dalam ramalan Jayabaya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun