Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Spending" dan "Happy" Pangkal Kaya

31 Desember 2017   09:07 Diperbarui: 31 Desember 2017   18:46 1734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: gettyimages

Pada era Dahlan Iskan (DI) menjadi Dirut Perusahaan Listrik Negara (PLN), saya tertawa menyimak iklan PLN hemat listrik. Logika umum, apalagi mengacu ke pengajaran logic di Universitas Sorbonne, Paris; electrical consumption berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Maka makin banyak pemakaian listrik sebuah bangsa dan negara dipastikan kian tinggi pertumbuhan ekonominya. Kok disuruh hemat? Kala itu saya masih suka ngenyek di akun sosmed, belakangan semua saya off-kan. 

Maka saat itu membanjirlah konten Twitter saya mengalir ihwal kesesatan logika dasar itu. 

Sampai-sampai saya menulis PLN tak paham lagi SPOK: Subjek, Predikat, Objek, Keterangan. Maaf Pak Dahlan, entah faktor kritik tadi atau karena saya pernah Skype dengan Nazaruddin, di mana oleh Nazar nama DI disebut-sebut, maka ketika bertandang ke Surabaya awal 2017 ini bersilaturahim, DI pun menyeletuk, bahwa sesama wartawan itu saking berdialektikanya, suka kritik kawan. Kami tertawa. Di kediaman DI pula saya menyimak betapa bangga ia memakai mobil listrik Tesla. Saya pun menceritakan anak Indonesia, DR Danet Suryatama, di Amerika Serikat kini, sudah memasarkan mobil listrik buatannya di rentang harga US $ 35 ribu satu. DI berminat membeli. Mobil masa depan memang dominan ke listrik dan hidrogen bahan bakarnya.

Di Jepun, di toiletnya, Anda akan ketemu closet dapat bernyanyi, hawa panas untuk kenyamanan pantat bisa disetel, semua berlistrik. Ketika saya ke Shanghai, menyimak gedung berpuluh, bahkan berlantai 100, bidang bangunan menjadi layar ruang LED menyala. Lampu benderang terang-padang. 

Maka tahun lalu ketika bertahun baru bersama keluarga di Paris, saya menyimak kemilau cahaya Menara Eiffel, kalah meriah dibanding mancawarna benderang Shanghai bertahun baru. Sulit membantah argumen makin tinggi pemakaian listrik, kian maju sebuah bangsa. Maka tugas penyedia listrik, PLN, seyogyanya menyuplai sebanyaknya dan jika bisa, semurahnya. 

Warga pemakai dapat mengatur listrik sebatas kemampuan pakainya. Logic.

Sejak tiga hari jelang menutup tahun, kawan dan kerabat meminta saya menulis analisa politik akhir 2017. Siapa Capres berikutnya, bagaimana peluang Presiden Jokowi 2019 mengingat Agustus 2018 sudah dimulai pendaftaran Capres 2019, bagaimana dengan wakil, pertanyaan lain mengalir-ngalir. Saya bukan pengamat politik, tetapi saya punya portofolio menggadang orang. Ciee ehhmm.

Dalam dua tahun terakhir bersama isteri, Sandra, kami memilih berusaha banyak berjalan-jalan. Jalan-jalan menjadi prioritas, karena itu saya suka bercanda, menghilangkan huruf j di kata jalan menjadi alan-alan. Abjad menunjukkan prioritas. Dari pengalaman mara ke mancanegara, saya menyimak mereka rutin berpergian, kian besar spending-nya, kian kaya-kaya orangnya.

Ketika kami pernah ikut sebuah rombongan tur, ada pesertanya unlimeted batas kartu kreditnya, membeli tiga tas Hermes dengan sekali gesek. Cerita punya cerita, pengusaha itu sosok terkenal di bilangan Mangga Besar, Jakarta Barat, mengusahakan jasa pengantin. Kue pengantinnya banyak pelanggan. Dominan, para traveller mara ke mana-mana, adalah sosok pekerja keras mencari uang, sehingga bisa rutin berlibur bersama keluarga. Maka mengacu ke judul tulisan ini, spending pangkal kaya, bukan sebatas kata semata. Menjadi petuah saya zaman now. Era hemat pangkal kaya, sejatinya berlalu.

Seorang kolega saya dari Malang, dua pekan menginap di kediaman kami. Kemarin ia baru pulang, balik ke Malang. Ia bertutur, kalau tukang sayur di pemukimannya di Malang kini tak lagi berani membawa daging, jarang pembeli, tak laku-laku, daya beli drop, warga berhemat. Warga dominan membeli sayur, tempe, tahu. Artinya spending menurun. Kawan itu pun ternganga menyimak antrean makan siang di mall di Jakarta di sebuah restoran Jepang. Ia sampai perlu memohon menyimak bill restoran. Di lingkungan rumah kami tinggal, warung, restauran, masih penuh baik jam makan siang maupun malam. Kawan itu pun sempat tercenung dan tergiur ingin berusaha makanan di Jakarta saja. Saya ingatkan dengan berbelanja, membeli, spending, ekonomi bergerak. Menghemat sebaliknya.

Saya pernah membaca di The Economist, salah satu alasan mengapa pemerintah Cina kini membolehkan warganya beranak dua, karena fakta: lebih 300 juta penduduk Cina kini kalangan lansia. Psikologis orang tua, di mana selera makan dan berdandan pudar, mereka dominan makan bubur dan hanya membeli satu dua baju saja setahun, menjadi beban ekonomi negara. Butuh generasi ber-spending besar.

Selain spending, ada satu kiat lain pangkal kaya, yakni happy. Bertepatan seorang kawan bekerja di luar negeri sana mengirim kalimat Richard Branson, industrialis asal Inggris, pendiri, pemilik, 360 perusahaan di bawah bendera Virgin. Branson bilang, "Saya acap ditanya apa kiat sukses? Jawab saya happy. Happy juga menjadi tujuan."

Dari orang-orang happy mengalir aura positif. Konon pula Tuhan maha pemurah mengabulkan doa insan riang-riang. Maka saya mafhum mereka Kristiani bernyanyi, bersanandung liturgi dalam doa. Cocok pula dengan video baru saya terima dari Mekah barusan. Ustad Abdul Somad sedang Umroh. Ia mampir menemui Habib Rizieq. Dalam pertemuan itu tampak Ustad Somad didaulat menyampaikan pesan. Ia ceritakan bagaimana kiprah ulama kita di Mekah dalam sejarah. Hadir di sana beberapa warga kita keturunan Arab. "Kalau saya cukuplah Arap-Arap cemas," katanya. hadirin gerrr. Saya pun tertawa.

Jelang pukul sembilan pagi di penghunjung tahun ini di kediaman kami matahari cerah. Rumput hijau, daun pohon Terminalia bergerak seakan menyapa-menyapa happy. Beruntung halaman rumah belakang terbuka menghadap timur, matahari memenuhi lingkar ruang. Di samping kanan, salah satu kolam biasanya jelang siang didatangi burung mandi-mandi, hirau terhadap empat ekor kucing Persia di dekat taman. Suara air jatuh mengalir menghiasi telinga saya menuliskan ini, Three Colour, dan Song of India,dua tanaman di dekat ruang kerja juga ditingkahi angin seakan berdansa. 

Hanya satu saja yang merana, satu dari dua pohon Sikas setinggi orang dewasa milik kami mati. Itu pun karena kesalahan saya. Seakan Google segalanya, maka saya browsing kiat mengatasi hama jamur putih daun Sikas. Salah satu artikel bilang, daun disikat dengan air sedikit diberi deterjen. Maka saya coba. Entah karena deterjen kebanyakan, atau terlalu happy bersemangat menyikat, sepekan kemudian daun menguning. Pagi ini tinggal batang coklat kehitaman, plontos bak kepala saya.

Desakan kepada saya dari kawan-kawan untuk berbicara menulis 2018, 2019, mungkin belum terobati di tulisan akhir tahun ini. Sekadar memancing selera, sebatas penghujung ocehan saya mau bilang kalau awal pekan lalu membaca kegiatan Titiek Soeharto ke Bantul, Jogja. Di sana ia prihatin akan langkanya suplai Nangka di Jogja kini. Ingat, nangka vital bahan baku Gudeg. Dipastikan dominan wisatawan lokal dan asing ke Jogja pasti mencicipi Gudeg. 

Di Jakarta hampir ke setiap pojok saya selalu mengamati di mana lagi tumbuh pohon kelapa tinggi. Sebatang ada seakan ngumpet di tiang provider telko di dekat Bundaran Hotel Indonesia Kempinski, selanjutnya di depan Hotel Aryaduta, arah saya pulang ke Cempaka Putih ada sederet kelapa tak terlalu tinggi. Sudah langka di Jakarta nyiur melambai-lambai, bagaikan langkanya nangka di Jogja.

Indonesia di mana nyiur melambai, mancawarna burung terbang berkicau-kicau. Bila seorang tokoh bisa bicara nangka langka, bagi saya ini sesuatu. 

Bisa bikin tertawa. 

Happy pangkal kaya.

Titiek baru berkata-kata di lingkup dari Bantul ke Bantul, Jogja, saja, aura dan suaranya telah merambah Nusantara. Dari data kami di IP Center, nama Titiek Soeharto diminati untuk 2019. Namanya kian moncer, setelah seakan "dipaksa" menyerah jangan merebut Ketua Umum Golkar di Munaslub-nya baru lalu.

Titiek menghadapi itu dengan senyum. Di Sosmed saya simak ada meme kita butuh pemimpin dengan senyum-senyum cantik. Di tengah rindu kepada Pak Harto tinggi -- toh Megawati cs juga "menjual" Bung Karno, jaringan NU mengedepankan Gus Dur - - bila saja Titiek Soeharto mara berkeliling Nusantara kini, tidak saja ke Jogja, dugaan saya ia mengantar oase kegembiraan. Pemimpin pemberi pondasi kuat mengalirkan keriang-gembiraan, modal dasar mengantar kesejahteraan. Apalagi bila di zaman now mampu memperbesar spending. Spending dan Happy pangkal kaya.

Selamat memasuki 2018, sejenak lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun