Semua tanah PTPN yang di Sumatera dan Jawa asal-usulnya adalah tanah nyolong, demikian Gusdur. Makanya, sedikitnya empatpuluh persennya harus dikembalikan, ujar guru bangsa ini sewaktu menjabat presiden.
Gusdur tidak bohong, PTPN di Sumatera dan Jawa, asal usulnya adalah perkebunan milik swasta asing, apakah milik warga Belanda, Inggris, Jerman, Arab, Tionghoa dsb. Bagaimana mereka bisa punya tanah? Dulu, terdapat aturan Domein Verklaring dalam Agrarisce Wet 1870. Kalau tanah tidak ada sertifikatnya ya tanah Negara. yang dimaksud dengan negara ya pemerintah Hindia Belanda. Di Sumatera lain lagi, tanah-tanah di Sumatera Timur diperoleh dengan perjanjian, atau tanah konsesi.
Setelah Jepang masuk, masyarakat sekitar tanah-tanah perkebunan tersebut, oleh tentara pendudukan Jepang diminta menduduki dan menanaminya dengan tanaman pangan. Untuk kebutuhan perang. Kemudian Jepang kalah perang, masyarakat masih menduduki tanah-tanah tersebut. Toh, pikir rakyat sekitar kebun, tanah-tanah tersebut juga dahulunya milik nenek moyang mereka.
Namun, akibat perjanjian KMB, masyarakat harus keluar dari areal perkebunan yang sudah mereka duduki dan tanami. Perjanjian ini mengharuskan pemerintah Indonesia membayar kerugian perang dan semua asset milik warga atau badan hukum kolonial tetap dikuasai pemilik lamanya. Perjanjian ini kemudian dibatalkan oleh Bung Karno dan terjadilah nasionalisasi asset seperti perkebunan dan pertambangan.
Perusahaan tersebut, setelah dinasionalisasi sepanjang tahun kurang menguntungkan, karena dikelola kurang profesional. Bahkan, jika dibandingkan dengan perusahaan swasta perkebunan yang muncul belakangan, PTPN kalah jauh.
Ada lagi yang aneh, PTPN kerapkali tidak melengkapi dirinya dengan sertifikat HGU yang lengkap. Misalnya luas secara de facto 25.000 hektar sertifikat tanahnya hanya 15.000 hektar. Mengapa? PTPN yang sering dijadikan sapi perah sekaligus korup secara internal. Dengan sertifikat HGU yang lebih sedikit dibandingkan dengan luas areal yang ada, maka perusahaan akan membayar pajak lebih sedikit, dan memasang target produksi perusahaan jauh dibawah kapasitas kebun yang ada secara de facto. Dari sisa areal yang tidak masuk HGU itulah salah satu sumber korupsi yang biasanya disebar secara massal mulai dari pihak perkebunan, tokoh penguasa lokal, partai politik hingga gedung dewan.
Ada keanehan lain lagi, seringkali lahan-lahan eks perkebunan di sekitar kota besar seperti Medan, Semarang, Malang, Bandung, saat ini telah berubah menjadi areal perumahan mewah, kawasan industri hingga milik pribadi. Apakah tukar guling, pelepasan hak yang dilakukan atas areal PTPN bisa dipastikan bersih?
Seringkali ditemukan bahwa tanah-tanah eks perkebunan yang dilepaskan haknya ternyata bersertifikat eks petinggi dan pegawai perkebunan, pegawai pemda dan BPN. Jadi?