Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan Alimuddin
Muhammad Ridwan Alimuddin Mohon Tunggu... -

Kuliah di UGM 1997-2006, menulis buku "Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?" (Ombak 2004), "Orang Mandar Orang Laut" (KPG 2005), "Sandeq, Perahu Tercepat Nusantara" (Ombak 2009), "Mandar Nol Kilometer" (Koran Mandar, 2011)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kamus dan Bahasa Mandar

17 Mei 2011   20:27 Diperbarui: 4 April 2017   17:23 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Dunia kepustakaan Mandar kembali diperkaya dengan terbitnya Kamus Besar Bahasa Mandar – Indonesia (KBBMI) yang disusun oleh Muhammad Idham Khalid Bodi, penulis muda Mandar yang menghasilkan pustaka-pustaka Mandar fenomenal.
Ambil misal terjemahan Terjemahan Arab – Indonesia ke dalam Bahasa Mandar yang diberi judul “Koroang Malaqbiq” dan Sejarah Perjuangan Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.
Bukan hanya itu, ada lebih sepuluh karya tulis lain yang disusun oleh Idham Khalid Bodi, baik tentang budaya Mandar maupun tentang Bahasa Arab atau agama. Saat ini dia sebagai peneliti di Kanwil Departemen Agama Sul-Sel.
KBBMI sendiri adalah kamus ketiga tentang Bahasa Mandar atau kamus penyempurnaan dari kamus kedua tentang Bahasa Mandar yang pernah terbit (amus pertama karya Ahmad Sahur), karya Abdul Muthalib, yang dalam kamus ketiga ini diposisikan sebagai editor. Bila membandingkan isi dan perjuangan ketika menuliskannya, kamus kedua mempunyai kelebihan tersendiri.
Memang kamus ketiga dua kali lipat tebalnya (antara 200 dengan 400 halaman; terlepas dari adanya tambahan beberapa Kata Pengantar di kamus ketiga dan tambahan artikel tentang Mandar), tapi ukuran teks-nya lebih besar. Kamus kedua menampung 52 baris teks, sedangkan kamus ketiga hanya 42 teks. Bila dirata-ratakan, kamus kedua mengandung sekitar 10.000 baris sedangkan ketiga 16.000 baris. Jadi, saya perkirakan hanya ada 6.000 penambahan baris. Untuk jumlah lema atau entri, saya belum bandingkan.
Dalam proses penulisan, penulis (Abdul Muthalib) langsung melakukan riset di lapangan (selain perbedaharaannya sendiri sebagai orang Mandar asli). Alasannya, sebagaimana yang tertulis dalam kata pengantarnya, hampir tak ada referensi tentang Mandar kecuali lontar. Adapun kamus ketiga, yang juga ditulis orang Mandar toto’ ada 12 pustaka: empat diantaranya karya Abdul Muthalib sendiri tentang Bahasa Mandar (termasuk kamus kedua), dan satu kamus Mandar – Indonesia karya Ahmad Sahur (1975) atau kamus pertama dalam sejarah penulisan kamus Mandar.
Jadi pada dasarnya, kamus ketiga ditulis oleh dua orang, yaitu Bapak Abdul Muthalib dan Saudara Idham Khalid Bodi. Tapi mengapa tidak demikian?
Menurut Idham, yang dikemukakan langsung ke saya, "Edisi baru lebih tebal, kayaknya lebih banyak lemanya daripada edisi dulu, jadi Idham saja yang menjadi penulis", ungkap Abdul Muthalib kepada Idham. Tapi menurut saya, secara etika, meski Abdul Muthalib berkata demikian, beliau tetap harus dijadikan sebagai penulis utama, bukan sebagai editor saja. Alasannya sangat sederhana, isi sebagian kamus ditulis olehnya.
KBBMI memiliki beberapa kelebihan, selain lema yang lebih banyak, juga kualitas cetakannya. Pertama, ukuran teks yang besar memudahkan pembaca. Beda dengan kamus kedua yang teksnya menyulitkan bagi mata yang telah kabur-kabur. Kedua, kamus ketiga dibuat dalam edisi “hard cover” dengan warna hitam elegan bermotif sarung sutera Mandar “sureq salaka”.
Sebagai sebuah kamus, betul-betul disandangnya. Adapun kamus kedua, “soft cover” saja dengan warna oranye – putih. Sangat sederhana. Ketiga, kamus ketiga juga ada beberapa tambahan di halaman-halaman awal, khususnya pembahasan tentang asal kata “mandar”.
KBBMI dicetak oleh Zada Haniva, yang kalau tidak salah milik Saudara Manggazali, putra Mandar yang sekarang bermukim di Solo (sebelumnya beberapa tahun di Yogya menuntut ilmu agama di IAIN Sunan Kalijaga dan S2 di Antropologi UGM). Setidaknya ada tiga karya Idham Khalid Bodi yang dicetak oleh Zada Haniva, yaitu “Lipa’ Sa’be Mandar”, “Makna Lambang Provinsi Sulawesi Barat” (yang mana dalam kompetisi logo Sulawesi Barat, Idham Khalid Bodi menjadi pemenang; jadi logo Sulawesi Barat saat ini adalah hasil karyanya), dan “Sejarah Perjuangan Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat”.
Adapun yang membiayai penerbitan KBBMI adalah Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Barat di bawah pimpinan Muh. Jamil Barambangi, yang juga memberi kata pengantar dalam buku ini bersama Gubernur Sulawesi Barat, Anwar Adnan Shaleh. Kemungkinan besar buku ini akan dibagi-bagi secara gratis ke lembaga pendidikan dan instansi-instansi pemerintah di Sulawesi Barat.
Perbandingan dengan Kamus Bugis – Indonesia Suku Bangsa Bugis sedikit lebih maju dibanding Mandar dalam hal penulisan kamus bahasanya. Sebelumnya perlu disampaikan, penyusunan Kamus Bahasa Mandar – Indonesia oleh Abdul Muthalib pada 1977 adalah bagian dari Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yang mana pada proyek tersebut, ada puluhan penelitian dan penulisan kamus bahasa daerah, termasuk Bahasa Mandar dan Bahasa Bugis. Saya pribadi memiliki beberapa seri kamus dari proyek tersebut, yang saya peroleh (secara gratis) dari Balai Bahasa Yogyakarta beberapa tahun lalu.
Bila versi “update” kamus Bahasa Mandar – Indonesia baru terjadi pada tahun 2010, kamus Bahasa Bugis – Indonesia telah dimulai dua tahun lebih awal, 2008. Judulnya, “Aku Bangga Berbahasa Bugis: Bahasa Bugis dari “ka” Sampai “ha”. Kamus ini disusun oleh M. Rafiuddin Nur, seorang pengusaha yang juga penulis buku-buku budaya Bugis. Dia lahir di Soppeng pada 2 Agustus 1945.
Kamus yang dibuat pun bukan penulisan ulang (atau penambahan) sebagaimana pada Kamus Mandar - Indonesia tetapi memulai dari menyusun dari awal (sebab tak ada referensi Kamus Bahasa Bugis – Indonesia dalam kamus baru tersebut).
Kamus Bugis tersebut memiliki beberapa keunikan atau kelebihan. Pertama penyusunan ejaan bukan berdasar pada abjad latin, tapi abjad huruf lontar: ka – ga – nga – ngka – pa – ba - sampai - a dan ha atau 23 abjad. Jadi, bagi yang terbiasa menggunakan kamus standar akan sedikit melakukan penyesuaian. Kedua, ada pelajaran tentang huruf-huruf lontar dan cara membacanya.
Ketiga, kamus ini juga lebih tebal. Dengan ukuran teks yang kecil (sama dengan ukuran kamus kedua Bahasa Mandar), jumlah halamannya hampir 600 atau hampir separuh dengan KBBMI yang terbit 2010.
Meski disebut kamus Bahasa Bugis, kamus tersebut juga bisa digunakan oleh orang Mandar. Sebab, sebagian besar istilah atau kata Bugis sama dengan istilah atau kata Mandar. Hanya penulisan yang beda; pengucapan yang tidak persis. Tapi, arti dan makna sama. Penyebabnya, antara Mandar dengan Bugis masih satu “stock” bahasa, yaitu “South Sulawesi Stock”. Stok tersebut terbagi atas tiga “family”, yaitu “Bugis Family”, “Nothern South Sulawesi Family” (Mandar), dan “Seko Family”.
“Bugis Family” terbagi atas dua bahasa, yaitu Bugis dan Campalagian (harap diingat, Campalagian berada di geografis Mandar); sedang “Nothern South Sulawesi Family” terbagi atas 11 bahasa: Mandar, Mamuju, Pitu Ulunna Salu, Pattae’, Kalumpang, Mamasa, Rongkong, Toraja Sa’dang, dan Toala’. Tingkat kemiripan (lexical similarity) antara Bahasa Mandar dengan Bahasa Bugis hampir 50% sebagaiman dalam hasil penelitian Grimes.
Bersambung

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun