Mohon tunggu...
Iwan balaoe
Iwan balaoe Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang biasa

Pemerhati yang perhatian banget

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anti Klimaks Gerindra Menuju Pilpres 2019

12 Desember 2017   15:53 Diperbarui: 12 Desember 2017   18:47 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk melawan Seseorang yang sudah mempunyai nama dan punya Track record hebat, kamu harus melawannya dengan sosok yang sepadan. Sosok yang mempunyai nama, di kenal orang dan di nilai akan membawa perubahan dari track record yang pernah ia lakukan sebelumnya. Namun apabila calon yang di usungnya terasa asing di telinga pemilih, akan susah untuk melawan nantinya.

Pemilu atau Pilkada tolak ukur keberhasilan adalah SOSOK PEMIMPIN yang di usung parpol. Calon yang di usung masih memegang peranan besar mengukur keberhasilan sebuah parpol memenangkan pemilihan. Sedangkan nama parpol belum bisa di jadikan tolak ukur keberhasilannya. Hasil survey membuktikan bahwa 80% rakyat lebih menitik beratkan pada sosok pemimpin yang di usung di bandingkan dengan nama parpol yang hanya jadi acuan sekitar 20%. [merdeka.com]

Gak perlu membuktikannya secara jlimet, Inilah kecerdasan rakyat indonesia. Hanya di era soeharto kita hanya bisa menilai partai tanpa perlu tau sosok pemimpinnya. Asal dari GOLKAR harus di pilih. Namun di era saat ini, sosok yang familiar, di kenal dengan masyarakat lah yang mempunyai elektebilitas tinggi di bandingkan dengan sosok yang baru di munculkan untuk di perkenalkan.

Keberanian gerindra mencalonkan mayor sudrajat cukup buat kaget, kader gerindra tentu saja harus siap menerima putusan ini. Namun simpatisan gerindra mendua dengan keputusan ini. Kalau ada kekecewaan simpatisan, itu wajar. Jumlah kader jauh lebih kecil jika di bandingkan dengan simpatisan. 

Berkaca di pilgub DKI, hanya ahok yang jelas di pastikan maju kembali. Lawan ahok masih simpang siur. Yusril Ihza Mahendra dan sandiaga Uno sudah memulai mengambil hati partai dengan kegiatannya dekati masyarakat. Publik menaruh hati pada YIM jika di bandingkan sandiaga. Karena ketokohan YIM dan kemampuannya tidak di ragukan lagi. Namun hanya sandiaga yang jelas mendapatkan dudkungan parpol, sedangkan YIM belum jelas. YIM unggul di keinginan masyarakat kala itu, keluar masuk markas partai untuk mengharap dukungan di lakukan YIM, namun apa daya. Sampai waktu terakhir tidak ada partai yang mau dukungnya.

Rakyat kecewa dengan putusan ini, kecewa pada gerindra dan PKS yang di harapkan mau dukung YIM. Namun keputusan tetap di tangan partai. PKS dan Gerindra munculkan nama di detik terakhir setelah demokrat termakan rayuan partai penguasa untuk memecah belah perkiraan calon dr gerindra dan PKS. Demokrat hadirkan nama AHY dan silvy, nama yang baru di kenal masyarakat juga. Dan gerindra-PKS hadirkan nama Anies dan sandi. 

Dari 2 kandidat ini, publik lebih memilih Anies dan sandi dibandingkan AHY-SILVY. Demokrat paham bahwa memunculkan AHY-Silvy akan membuat kerja berat untuk kenalkan mereka pada publik dan naikkan elektabilitas. Maka cara mempopulerkan dengan bantuan media dan memunculkan hasil survey adalah salah satu caranya. AHY di dongkrak namanya melalui pemberitaan dan survey bayaran. Media berita mengulas bagaimana sosok AHY secara masif dan lembaga survey terus tempatkan AHY di bawah ahok elektabilitasnya. Bagaimana dengan Anies-sandi..? 

Mereka kebagian urutan ke-3 dan di pastikan tersingkir andai pilgub masuk putaran ke-2. Itulah prediksi lembaga survey yang sudah bekerja sama dengan AHY. Hasil rilis lembaga survey dan media memang bertujuan giring opini publik. Namun karena KECERDASAN RAKYAT, hal ini gak berpengaruh. Pada Hari H, segala prediksi di jungkir balikkan oleh paslon anies-sandi. 

Meeka melejit no.2 dan meninggalkan AHY yang hanya mampu memperoleh suara hanya 17%. Bayangkan, dengan segala dukungan media dan lembaga survey, sosok AHY yang kurang familiar hanya mendapat suara 17%. Padahal mesin partai sudah bekerja dengan giat dan tak kenal lelah. Mengapa publik bisa meninggalkan AHY? Padahal AHY dalam pemberitaan media sangat di elu2kan warga jakarta. Wajah tampan, karier militer bagus dan nama besar demokrat dengan ikon Sby ternyata tidak membantunya untuk melangkah di putaran ke-2. 

Ini semua karena kecerdasan rakyat dalam memilih. Mereka gak melihat partai pengusung, mereka gak melihat elektabilitas, yang mereka lihat adalah SOSOK YANG DI USUNG. AHY dinilai masih terlalu baru untuk terlibat dalam birokrasi pemerintahan. Birokrasi militer tentu saja berbeda jauh dengan birokrasi pemerintahan daerah. AHY dalam militer tunduk pada perintah dalam 1 garis lurus, dia belum terasah kemampuannya mengambil kebijakan dan menuangkannya dalam peraturan atas nama dia. Bandingkan dengan anies, dia pernah jabat jadi menteri. Dia sudah berpengalaman mengeluarkan kebijakan atas namanya untuk rakyat. Sosok sandiaga juga memegang peranan, tidak jadinya YIM didukung partai, membuat publik alihkan dukungan pada sandiaga. Toh sandiaga sudah memulai juga dekati warga sebelumnya. Sama dengan yang di lakukan YIM. 

Berkaca dari pilgub DKI, maka posisi gerindra dengan mengusung nama mayor sudrajat adalah psoisi dimana demokrat mengusung sosok AHY. Hadirkan nama baru yang tidak di kenal publik. Gerindra hanya andalkan nama Prabowo saat ini. Ada kesombongan pada gerindra saat mereka masih mengandalkan nama besar Prabowo dalam mengusung calon pemimpin daerah. Harap di ingat, ini bukan kontes pemilihan presiden, ini pemilihan daerah dimana publik menilai siapa calon yang di usung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun