Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Aktivis

1 Mei 2023   15:39 Diperbarui: 1 Mei 2023   15:42 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: tangkapan layar dari Bisnis.com/antara

"Kang Nunang nunggak lagi Pa?" tanya ibuku. Ia sudah hapal kebiasaan penghuni kontrakan itu. Bukan kali ini saja ia telat bayar. Di bulan-bulan yang lain ia melakukannya juga.

Perihal alasannya telat membayar, satu waktu ia mengatakan uangnya terpakai untuk menebus obat bagi anaknya yang terserang sakit typhus. Meski biaya pengobatan ditanggung asuransi, ia memerlukan biaya operasional selama menunggu anaknya diopname di sebuah rumah sakit.

Pada kesempatan yang lain ia menyatakan alasan telat bayarnya karena uang kontrakan terpakai untuk membeli onerdil motornya yang mogok. Pada waktu waktu yang lain pun alasannya masih serupa. Uang untuk membayar kontrakan terpakai untuk keperluan domestik rumah tangga.

"Iya, biar saja. Kasihan dia", Bapak menjawab pertanyaan ibu seperti biasa. Bapak tidak mempermasalahkan telat setor yang biasa dilakukan Kang Nunang. Bapak tak pernah menagih, apalagi dengan nada suara keras kepada Kang Nunang. Ia mau tinggal di bilik kontrakan ini saja sudah bersyukur.

Bapak menganggap Kang Nunang sebagai saudara. Latar belakang suku antara Bapak dan Kang Nunang sebagai orang Sunda yang menyatukan mereka. Tak banyak orang Sunda di tanah Sumatera ini. Di Kota Medan lebih sedikit lagi. Orang-orang bersuku Sunda bisa dihitung jari.

Sebetulnya bukan hanya karena persamaan suku yang menyatukan Bapak dan penghuni kontrakan itu. Bapak menaruh simpati pada Kang Nunang. Pada gerak langkahnya sebagai pejuang para buruh di tempatnya bekerja.

Kang Nunang di mata Bapak bukan orang biasa. Bapak melihat sikap berani dalam diri lelaki asal Garut itu. Meski perawakannya kecil, ia memiliki nyali yang besar. Suaranya keras berwibawa. Latar belakang pendidikannya yang pernah mondok di pesantren terlihat dalam caranya berbicara.

Sikal berani Kang Nunang tampak dalam gerak-geriknya dalam wadah Serikat Pekerja. Ia berperan sebagai aktivis dalam wadah para pekerja itu. Kang Nunang sering kulihat bercakap-cakap dengan Bapak, membahas soal perburuhan ini. Gayung bersambut,  Bapak yang pensiunan sebuah instansi yang mengurusi tenaga kerja, rupanya memahami kegelisahan Kang Nunang dan rekan.

Simpati Bapak pada perjuangan yang diemban Kang Nunang dan kaumnya berkaitan dengan tingkat kesejahteraan. Telah jamak diketahui bila para buruh mendapat upah yang belum layak. Peraturan yang berlaku saat ini yang mengatur besaran upah buruh berdasarkan mekanisme UMR masih jauh membawa para buruh pada sebutan sejahrera.

Aktivis buruh seperti Kang Nunang membaktikan dirinya bagi kepentingan para buruh. Mereka seakan-akan tidak memperhatikan diri mereka sendiri. Hidup dengan standar kesejahreraan minimum dijalani. Namun mereka tak  berpangku tangan. Tak henti menyuarakan aspirasi para buruh meraih kesejahreraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun