Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Jabatan Mulia namun Tak Diminati

15 Oktober 2021   12:54 Diperbarui: 20 Oktober 2021   18:17 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Antara/Prasetia Fauzani via KOMPAS.com

Sekawanan anak muda menghuni rumah di lingkungan RT kami. Menjadi penghuni baru dengan mengontrak sebuah rumah. Jumlah mereka lima atau enam orang dalam "formasi" lengkap. Mereka seusia mahasiswa tingkat tiga atau empat. Kawanan ini semuanya laki-laki.

Biasanya mereka "pulang kandang" di malam hari. Sekitar pukul sepuluh mereka datang. Raung suara knalpot motor jadi pertanda awal kedatangan mereka. Selanjutnya terdengar decit suara pintu pagar yang digeser dan suara obrolan.

Sebagaimana pemuda pada umumnya, para mahasiswa itu gemar bernyanyi. Di dalam rumah mereka kerap bernyanyi dengan suara lepas. Petikan gitar mengiringi, diselingi gelak tawa dan ocehan sekenanya. Tergambar mereka begitu bahagia.

Di malam yang hening tentu suara-suara itu mengusik ketenangan. Rumah-rumah yang berdekatan merasa terganggu. Tetangga yang paling dekat dengan rumah itu mengaku jengkel. Ia kerap mengintip dari balik gorden rumah. Mengamati gerak-gerik anak-anak muda itu.

Tetangga yang lain mengamini pernyataan sang tetangga dekat. Mereka pun dongkol dengan keramaian yang pecah setiap malam. Mereka sepakat membuat "petisi" . Menyatakan perasaan terganggu oleh suara obrolan, canda tawa, juga lengking suara nyanyian di keheningan malam.

Satu hal yang ditulis dalam petisi itu: mengutus Pak RT untuk menyampaikannya kepada mereka. Pak RT ditunjuk menjadi juru runding untuk menyampaikan aspirasi warga.

Menjadi ketua RT akrab dengan hal-hal seputar keseharian. Menerima warga yang mengadukan kesulitannya, mendamaikan mereka yang bertikai, atau menjadi wakil keluarga warga bila diminta. Sepintas, tugas Pak RT tidaklah berat. Dalam pelaksanaan, tugas-tugas seperti itu ringan di ucapan namun berat untuk dijalankan.

Begitu berat tugas ketua RT, karenanya tak banyak warga yang bersedia dipilih. Bila bersedia pun, terkadang terdapat penentangan dari keluarga. Biasanya, istri adalah orang pertama yang menentang. Menjadi Ibu RT adalah jadi "bayangan" Pak RT. Bu RT-lah yang melayani warga saat Pak RT tidak berada di tempat. Tentu para Istri tidak menghendaki kerepotannya mengurus rumah tangga bertambah dengan keruwetan mengurus warga.

Dengan problem seperti itu memilih Ketua RT gampang-gampang sulit. Gampang karena tidak memerlukan persyaratan yang panjang. Sulit karena tidak setiap warga bersedia dipilih. Oleh karenanya dalam kontestasi pemilihan ketua RT biasanya yang muncul tokoh 4 L, lu lagi lu lagi. 

Pada masa lalu biasa terjadi ketua RT menjabat lebih dari dua periode. Kerabat saya misalnya. Ia menjadi Pak RT di tempat tinggalnya hampir dua puluh tahun. Sapaan Pak RT seakan telah menyatu dengan dirinya. Ke mana pun ia pergi, warga menyapanya Pak RT.

Di masa kini mekanisme pemilihan Ketua RT dibatasi dua periode. Tertuang dalam Permendagri 18/2018 bahwa masa bakti pengurus RT selebih-lebihnya dua periode. Dan bisa dipilih kembali pada periode berikutnya setelah "diselingi" oleh tokoh lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun