Mohon tunggu...
Ivan Putrantyo
Ivan Putrantyo Mohon Tunggu... Dokter - Pelajar

Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Renungan Pejuang Kebudayaan

22 Maret 2011   22:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:32 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kawan-kawan cendekiawan muda, pasti kalian semua sudah tahu apabila negara kita tercinta Indonesia memiliki kebudayaan yang kaya, melimpah, dan beragam. Kebudayaan nasional kita yang disusun oleh bermacam-macam kebudayaan daerah adalah sebuah warisan yang harus dilestarikan. Tetapi seringkali kita tidak pernah menyadarinya. Penghargaan dan usaha melestarikan budaya oleh generasi muda semakin mengalami penurunan dari zaman ke zaman. Saya tidak bicara omong kosong tanpa dasar. Mari kita lihat beberapa waktu lalu di mana negara tetangga kita Malaysia yang dengan serta merta mengklaim batik sebagai warisan budaya Malaysia, diikuti tarian-tarian daerah lainnya. Anda ingin tahu bagaimana timbul niatan dari negara tetangga untuk mengklaim kebudayaan kita? Pertama jelas mereka negara yang culas dan licik, pengklaiman batik dan tari-tarian daerah lainnya sebagai milik Malaysia akan melambungkan daya jual pariwisata mereka ke tingkat tertinggi. Alasan pertama memang subjektif dan apriori saya akui. Dengan semena-mena kita berkata demikian, tetapi mari kita beranjak ke alasan kedua. Apakah pemerintah memberikan perhatian yang cukup baik kepada kebudayaan kita? Apakah kita sudah cukup perhatian dan menjaga kebudayaan kita? Reflektif sajalah. Malaysia berkata apabila kebudayaan milik kita dimiliki oleh mereka, mereka akan memberikan perhatian lebih. Kebudayaan agung milik kita adalah milik dunia, mereka tidak rela apabila kebudayaan tersebut hilang tergerus zaman akibat ketidakpedulian sekumpulan orang bodoh. Pada saat itu kaum cendekiawan muda dipenuhi semangat nasionalisme yang menggebu-nggebu, terbakar oleh rasa cinta tanah air. Mereka bergerak, berteriak, turun ke jalan menuntut pemerintah mengambil sikap. Pemerintah Indonesia melihat semangat masyarakat negara ini untuk mempertahankan kebudayaan mereka. Dengan segala kekuatan yang mereka miliki, dengan bantuan mediasi UNESCO, akhirnya batik ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia pada 2 Oktober 2009. Euforia menyelimuti negara ini. Aksi-aksi berbatik dilakukan di berbagai kota, oleh berbagai komunitas pula, dari komunitas bersepeda sampai dengan budayawan. Pemerintah mengeluarkan sebuah intruksi persuasif untuk memakai batik pada tiap hari Jumat, untuk mengingat hari kemenangan kita, serta untuk mengungkapkan pada dunia bahwa warisan budaya ini aman bersama masyarakat Indonesia. Meski tidak diungkapkan secara blak-blakan, pemerintah juga memiliki maksud untuk mengembalikan persatuan bangsa Indonesia yang kerap kali diterpa cobaan. Batik dianggap mampu menyatukan setiap elemen masyarakat yang ada, tanpa kasta, mengingatkan kembali bahwa negara kita adalah negara yang berkaca pada nilai-nilai sosialisme. Sambutan hangat timbul dari berbagai kalangan masyarakat atas instruksi pemerintah tersebut. Tetapi ternyata semua hal tesebut hanyalah hangat-hangat tai ayam. Memang betul pelajar SMP-SMA dan pegawai negeri semua memakai batik tiap hari Jumat. Tetapi apakah hal itu berasal dari rasa cinta tanah air yang ikhlas? Atau hanya sekedar patuh terhadap regulasi seperti anak kuda yang tidak bisa berpikir? Lihat masyarakat yang bebas dari regulasi. Mudahnya, lihatlah kalangan mahasiswa, sebuah kaum yang dikatakan sebagai agent of change, cendekiawan muda yang memiliki kesadaran sosial tinggi, kaum yang berteriak paling keras pada saat Malaysia hendak merebut kebudayaan kita. Apakah kebanyakan dari mereka memakai batik pada hari Jumat? Bila anda tidak tahu, saya akan beri jawabannya saudara-saudara. Jawabannya adalah tidak. Kemunafikan dan inkonsistensi dalam perjuangan mahasiswa terlihat jelas di sini. Dengan mata telanjang pun kita dapat mengatakan bahwa mahasiswa hanyalah sekumpulan orang yang hanya besar mulut dan beraksi untuk menunjukkan eksistensi pribadi maupun golongannya. Beberapa kali saya bertanya kepada teman-teman seumuran dengan saya, tentang alasan mereka enggan berbatik pada hari Jumat. Kebanyakan ada tiga alasan, yang pertama adalah panas, yang kedua adalah tidak punya, dan yang ketiga adalah status sosial. Panas saudara-saudara. Apakah panas adalah alasan yang cukup kuat untuk tidak memakai batik bila dibandingkan perjuangan pendahulu kita dan pemerintah terdahulu melakukan aksi dan usaha diplomasinya dalam memperjuangkan batik? Di mana apresiasi kita? Terhadap para pejuang terdahulu? Dan yang terpenting, terhadap kebudayaan kita itu sendiri? Bahkan hal kecil seperti ini pun kita tidak berkenan melakukannya, bagaimana besok waktu giliran generasi kita menjadi pemimpin bangsa ini? Bisa-bisa terjadi pelelangan kebudayaan. Ketahuilah saudara-saudara, saya mengatakan kepada kalian, “Kebersihan adalah sebagian dari iman, pun berpakaian adalah sebagian daripada sikap.” Saya tidak bisa semena-mena berkomentar terhadap alasan kedua, tetapi dari pengalaman saya saja, biasanya orang-orang yang melontarkan alasan kedua ini hanya dibuat-buat saja. Dalam artian mereka memang tidak respek dengan kebudayaan, dan tidak memiliki tendensi untuk melestarikannya. Sepanjang pengalaman saya, omong kosong apabila mereka mengkambinghitamkan masalah ekonomi untuk tidak membeli batik. Menurut definisinya, batik adalah kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu. Ada pula yang mendefinisikannya sebagai kain khas daerah tersebut. Jadi bila mereka enggan membeli batik dengan alasan instruksi ini adalah sebuah keputusan tendensius untuk memuliakan kebudayaan Jawa, alasan mereka sangat tidak rasional. Dan alasan yang paling menyedihkan adalah status sosial. Pernah saya berbincang dengan salah satu teman saya. Dia memang seorang wanita yang berasal dari keluarga yang berada. Pada saat kita memperbincangkan topik ini, dia menyatakan bahwa keengganan dia untuk memakai batik di hari Jumat adalah dikarenakan pada saat itu masyarakat dari semua elemen menggunakannya. Dengan kata lain, dia tidak sudi disamakan dengan office boy, tukang sapu, dan pekerja kelas rendah lainnya. Betapa tersayat hati saya saat mendengarnya saudara-saudaraku. Sebegitu tergerusnyakah nilai sosialisme di negara ini? Apakah sistem kasta telah kembali ke bumi nusantara kita tercinta ini? Jangan jawab saya saudaraku, jawablah dalam hatimu sendiri ketika kamu melihat kenyataan di sekitar kita. Degradasi nilai, moral, cinta tanah air, dan kepedulian terhadap kebudayaan telah merajalela saudaraku. Setelah membaca tulisan saya ini, apakah tindakanmu? “Bangsa ini sudah jenuh dengan opini. Bangsa ini merindukan aksi” - Ivan Putrantyo, 7 Oktober 2010 sumber : http://hearttone.multiply.com/photos/album/203

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun